Pola bersujud pada kekuasaan yang korup itu juga berelasi dengan perburuan pada "tuhan harta". . Berbagai jalan tembus digunakan untuk bisa mengail atau menkorup hak-hak publik. "Penjarahan" yang dilakukan segmen elit secara berlapis-lapis telah berhasil mempertahankan dan mengakselerasikan negeri ini sebagai republik korupsi atau pemegang rekor jawara korupsi di antara negara-negara terkorup di dunia.
Misalnya, ada hak masyarakat yang terkena musibah disalah-alamatkan, hak berupa raskin (beras untuk orang miskin) digelapkan, dana social yang disesatkan alamat peruntukannya, dana kesehatan untuk rakyat miskin yang disunat atau dialihkan alamatnya, ada berbagai jenis dugaan praktik "korupsi semu" yang "dititipkan" lewat kegiatan-kegiatan bertemakan pemberdayaan manusia atau diskresi atas nama pembangunan dan penyesuaian hak-hak untuk komunitas elitnya, pola terorganisir dalam melakukan "pembalakan" kekayaan hutan (illegal logging) yang semakin canggih dan sistematis, dan pencurian besar-besaran kekayaan bahari (illegal fishing).
Kalau memang Tuhan masih diberi ruang bercahaya menjadi kekuatan moral-spiritual dalam diri manusia negeri ini, tentulah mereka ini akan secepatnya menanggalkan "permainan kotornya" atau mensucikan tangan-tangan kotor korupsinya dengan cara membangun dan mewujudkan proyek-proyek pemanusiaan manusia Indonesia yang berbasiskan sujud kepadaNya.
Hidup berbinar dan bercahayanya nurani kita untuk berani menengok dan menerjemahkan, serta memperjuangkan kepentingan sesama (rakyat) adalah tanda-tanda diberinya "Tuhan" ruang dialogis dalam dirinya atau meminjam istilah Cak Nur (Nurcholis Majid) sebagai Yang Maha Hadir (Ompnipresent) Sebaliknya, ketika aktifitasnya lebih bercorak oportunisasi dan malversasi moral berpolitik atau tetap menjalankan kekuasaan dengan tidak berkeadaban, maka ini mengindikan kalau Tuhan belum diberi "ruang hidup" yang membinbing dan mencerahkan dirinya, dan sebaliknya koruptorlah yang menjadi tuhannya..
"Seseorang hamba tidak beriman sebelum Aku (Tuhan) lebih dicintainya daripada dirinya, keluarganya, harta bendanya, dan manusia semuanya", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan, bahwa Tuhan merupakan puncak kecintaan hidup manusia yang wajib ditegakkan. Ketika seseorang misalnya berani melepas sebagian harta yang dicintai demi "proyek sosial" kemanusiaan (HAM), maka ini pertanda kalau seseorang ini berani melawan keniscayaan lahirnya tuhan-tuhan baru dalam kehidupannya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H