Tidak gampang memasuki relung kesejatian rakyat. Rakyat, apalagi yang berasal dari komunitas akar rumput (grass root community) seringkali juga tidak berani menunjukkan "bahasa" kesulitannya tatkala berhadapan dengan  elit kekuasaan yang tampilan komunikasi politiknya lebih menonjolkan "bahasa negara". Â
Mereka sudah sekian lama hidup dalam kondisi dan didikan yang menempatkan dirinya bukan sebagai "tuan" di negerinya sendiri. Mereka sudah dibiasakan dan dikulturkan dalam suasana "bisu" dan serba antagonistik, sehingga untuk menangkap dan memahami aspirasinya, kadang-kadang dibutuhkan pendekatan istimewa, bahkan kalau perlu "penerjemah" yang betul-betul bisa menerjemahkan aspirasinya.Â
Ada prinsip pragmatis yang masih terasa kuat di masyarakat, bahwa masyarakat  tak ingin menuai kesulitan berlapis tatkala berhadapan dengan komunitas elit yang dinilai terkadang nekad mengorbankannya. Hak asasi manusianya (HAM) seperti hak suaranya dipinang, tetapi ragam penderitannya diabaikan. Bahkan rakyat bukan hanya merasa diabaikan, tetapi juga dituntut kembali jadi "ongkos"  kepentingan-kepentingan eksklusifnya.
Di dalam diri rakyat, bukan hanya ada hak suara, hak beragama, hak mengekspresikan diri, dan hak membuat jaringan dan organisasi politik, tetapi juga punya hak untuk disejahterakan atau dibebaskan dari penyakit kemiskinan, diberikan pendidikan yang layak, diberi iklim social-politik yang aman yang menjamin keamanan, dan utamnya sekarang di era pandemi Covid-19, hak kesehatan, dan keselamatan nyawanya, yang wajib diwujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H