Oleh: Abdul Wahid
"Hak Asasi Manusia (HAM) ialah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat  hidup sebagai manusia" (Jan Materson) atau dalam ABC, Teaching Human Rights, United Nations, P.5: human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being.
Perkembangan  akhir-akhir memang terasa ada sikap keraguan masyarakat terhadap peran Partai Politik (Parpol) dalam konstruksi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Keraguan atau barangkali ketidakpercayaan itu berangkat dari evaluasi yang disampaikan oleh berbagai pihak yang menilai kalau kinerja Parpol belum maksimal. Parpol disimpulkannya belum menjadi kekuatan politik rakyat dan masih sebatas menempatkan rakyat sebagai objek (kendaraan) untuk membingkai kekuatan politiknya Parpol.
Dari polling itu ada penilaian bahwa ada gejala pelebaran reduksi kredibilitas rakyat yang tak semata-mata dialamatkan kepada eksekutif, tetapi juga yudikatif dan legislatif.Â
Mereka menilai, bahwa tiga lembaga strategis "milik" rakyat itu belum maksimal mengabdikan dirinya atau "membumikan" loyalitas populistiknya, sebaliknya  institusi  itu masih "menghambakan" dirinya dan jadi subordinasi kekuatan Parpol.Â
Parpol belum menunaikan tugas sucinya melalui kader-kader terbaiknya yang disebar di sejumlah institusi strategis untuk menomo-satukan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan diri dan Parpol itu sendiri.
Dalam tataran itu, posisi Parpol masih tidak ubahnya sebagai kekuatan yang membenarkan "sabdo pandito ratu", Â yang nota bene Parpol akhirnya jadi pemegang kunci utama untuk melahirkan dan menkomoditi fatwa-fatwa politik yang tidak terbantahkan atau jadi kekuatan monolitik yang bisa menentukan "hidup mati", sehingga loyalitas kader yang berbajukan kedaulatan rakyat, kinerjanya bukan representasi maksimal kedaulatan rakyat, melainkan representasi kekuatan Parpol.
Oleh kader-kader di tiga lembaga strategis itu,  Parpol masih diperlakukan  layaknya bos besar atau pemegang kartu mati  yang menentukan karier politik-ekonominya. Barangkali segmen-segmen strategis yang kehilangan kecerdasan moral-intelektualnya ini  merasa miopik jika sampai Parpol menggunakan hak privilitasnya, seperti recalling bagi anggota legislatif dan mosi tidak percaya bagi yang berkarir di eksekutif.
Setidaknya hasil  polling itu dapat dijadikan  sebagai rujukan moral dalam menilai kinerja dan diskresi politik yang dihasilkan Parpol. Apapun namanya evaluasi yang sudah dibuat "perwakilan" masyarakat dapatlah dijadikan sebagai kritik yang bisa mencerdaskan kinerja Parpol. Parpol tidak bisa menutup mata terhadap segala "rapor" yang menilainya, sebab mereka ini juga bagian dari suara riil rakyat, meskipun barangtkali juga tidak lepas dari unsur pergulatan  kepentingan (subjektifitas).
Memang, idealnya Parpol, meminjam istilah budaywan Kuntowijoyo harus mendukung gerakan "politik hati nurani", artinya berbagai gerakan politik di luar gedung dewan dan Parpol wajib disikapi dengan kebeningan atau kefitrian hati nurani, agar dinamika aspirasi rakyat yang mencuat dan mengeksplosi adalah benar-benar kesejatian suara kedaulatan rakyat. Jerit tangis dan gejolak tuntutan yang bergema di luar gedung dewan merupakan  amanat yang wajib diperhatikan, sebab mereka telah mempercayakan hak kedaulatannya.