Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Kemarahan Presiden

9 Juli 2020   19:38 Diperbarui: 9 Juli 2020   19:43 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah buku

Pidato Presiden Jokowi Widodo di hadapan para Menteri dan sejumlah pejabat penting yang menjadi viral bernada kemarahan, dimana diantaranya ditujukan pada para "pembantunya" yang belum menunjukkan kinerja maksimalnya, padahal menurutnya (Presiden), persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat serius yang membutuhkan penanganan istimewa, dan bukan yang biasa-biasa.

Secara psikologis setidaknya dapat terbaca bahwa Presiden mendapatkan informasi atas kinerja "pasukannya" yang belum menunjukkan daya tempur maksimal dalam menghadapi Covid-19. Ini dibuktikan dengan serapan anggaran yang "sangat kecil" dibandingkan yang sudah disediakan.

Itu menunjukkan, bahwa Presiden menghadapi beragam "virus" yang berada atau menjangkiti orang-orang di sekitarnya (kepercayaannya), padahal mereka ini yang diharapkan bisa mengentas problem bangsa yang sangat istimew (exstra ordinary) ini.

Presiden memang layak dan harus marah, pasalnya mengharapkan orang-orang di sekitarnya menjadi "pekerja kuat" seperti dirinya tidak gampang, pasalnya di negeri ini banyak elitis yang sukanya memang bukan beberja cerdas dan bekerja keras. Sebaliknya yang banyak atau tidak sedikit adalah para "pemain" dan bahkan demagog.

Sebagai refleksi komparatif, jika orang kecil jadi demagog, maka dustanya tidak banyak mendatangkan kerugian bagi orang lain, tapi kalau pejabat seperti menteri, maka dampaknya bisa menjalar kemana-mana, atau dapat merapuhkan negara, bahkan bukan tidak mungkin bisa membuat negara tinggal jadi tuyang-tuyang.

Itu sejatinya mengingatkan setiap elitis untuk tidak suka memproduk demagogisme, pasalnya dalam demagogisme ini terkandung virus yang bisa merapuhkan, menghancurkan, dan mematikan  bangsa ini. Siapa saja, apalagi punggawa strategis dilini penanganan Covid-19 yang terjangkiti "virus", maka alamat dirinya tidak cukup kuat menjalankan amanat rakyat.

Kita bisa belajar misalnya, bahwa berbagai bentuk praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seperti korupsi, manipulasi, suap, dan lainnya yang berpola 'mempermainkan jabatan", merupakan deskripsi konkrit malapraktik jabatan (kedudukan) yang bersumber dari demagogisme dan lemahnya etos kerja.

Demagogisme yang dijadikannya sebagai opsi mampu membuatnya berani menjadi "penjahat" atau para pemalas atas nama jabatan secara terstruktur dan masif, yang mengakibatkan rakyat terkena dampak kompilatif.  

Peramal kenamaan John Neisbith pernah berpendapa bahwa sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, namun informasi ditangan orang banyak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun