Oleh: Abdul Wahid
Dalam agam Islam, seseorang yang menyebut dirinya sebagai mukmin bukanlah dengan standar pemenuhan kepentingan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan universalitas, sehingga ketika dirinya menunjukkan cintanya pada orang lain, maka itu sejatinya harus sebagai pencerminan  cintanya secara individualitas.Â
Umumnya cinta secara individualitas ini sangat tinggi, sehingga layak menjadi standarisasi untuk mewujudkan cintanya pada sesame manusia tanpa sekat apapun.
"Seorang mukmin itu mencintai dan dicintai, maka tiada kebaikan pada orang yang cinta dan tidak pula dicintai" (HR, Tabhrani), demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengajarkan tentang egalite, dan fraternite. Artinya, kalau seseorang itu mencintai orang lain sebagai saudaranya, maka harus ditunjukkan sikap dan perilaku yang menempatkan orang lain benar-benar sederajat atau sekelas statusnya dengan dirinya.
Dalam ajaran Islam itu sudah tegas-tegas digariskan, bahwa persaudaraan (al-ikha') dan persamaan derajat (al-musawwah) merupakan sejatinya ajaran agama berbasis komitmen kemanusiaan. Disnilah makna kecintaan secara universalitas harus lebih tinggi kelas atau derajatnya dibandingkan pada diri sendiri.
Kebebasan yang diwujudkan (dilampiaskan) sebagai aktifitas tanpa kenal batas moral, agama, dan hukum, adalah aktifitas yang mendistorsikan kefitrian agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Â Integrasi sosial gagal diwujudkan akibat dikoyak oleh kemauan yang tidak diedukasikan.
Dalam tulisan Dedi Rinaldi yang mengomentari dugaan problem rasial di tahun 2005 dengan judul "Fragmentasi Prancis" menyebutkan, bahwa "tidak disangka, Prancis yang elegan, modern, dan maju, ternyata masih rentan pada kerawanan social. Negeri yang telah berpuluh-puluh tahun menguatkan dirinya dengan prinsip liberte, egalite, dan fraternite ini bisa dilanda kerusuhan hebat.
Kasus rasial yang bermula dari kematian dua pemuda berusia 15 dan 17 tahun di daerah pinggiran Kota Paris yang tidak jelas benar apa penyebabnya, Prancis lalu menjadi menyala. Kerusuhan meluas dan tidak terkendali. Bahkan kerusuhan menjalar hingga ke luar Prancis, melanda kota-kota di negara-negara tetangga yang memiliki kantong-kantong kemiskinan.
Kasus tersebut layak memang dijadikan bahan refleksi, bahwa Prancis yang dikenal sebagai pondasinya ajaran-ajaran demokrasi tidak otomatis bisa memberikan teladan pada dunia tatkala demokrasi menuntut pembuktian dalam realitas. Â Prancis pernah diprotes ramai-ramai oleh komunitas muslim akibat memproduk regulasi yang melarang penggunaan jilbab.
Kerusuhan sosial di Prancis tersebut dapat menjadi tolok ukur paedagogisasi kita, bahwa kebebasan yang melekat dalam diri seseorang atau kelompok belum bisa dijadikan "kendaraan" untuk mengantarkan terciptanya persaudaraan dan pengakuan hidup berdampingan antar etnis, antar pemeluk agama, Â dan ras, secara damai.
Integrasi sosial di Prancis itu seharusnya perlu belajar atau memulai dari dirinya sendiri  (ibdak bi-nafsik), bahwa sepakbola Prancis tidak akan pernah sukses mengawinkan gelar juara dunia dan Eropa kalau tidak didukung oleh penduduk berstatus imigran seperti Zinedine Zidane, Marcel Desaile, dan lainnya.