"Tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai saudaranya sebagaimana kalian mencintai diri sendiri", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengingatkan kesejatian dimensi teologi kemanusiaan adalah ditentukan lewat pembumian dan pemberdayaan cinta kepada sesama (saudaranya) Sementara cinta kepada sesama ini barulah bermakna jika dosisnya tidak sederajat dengan nilai penghormatan terhadap dirinya sendiri.
Umumnya manusia itu bisa menunjukkan empati dan cintanya kepada orang lain tidak seadil dan seagung ketika memuliakan atau memperlakukan dirinya. Penghormatan atau "pemanusiaan" diri sendiri lebih diistimewakan dibandingkan penghormatan atau "pemanusiaan" yang dilabuhkan kepada manusia lain. Inilah yang menjadikan kesenjangan masih terjadi dan akan tetap lestari, kecuali manusia itu sudah menjatuhkan opsi persaudaraan sucinya dengan menempatkan sesamanya sebagai pemegang kunci kesempurnaan keimanan.
Jangankan memperlakukan (mencintai) orang lain sederajat, seegalitarin, dan semulia dirinya, Tuhan saja kadang-kadang dikalahkan dan "dimarjinalkan"-nya atau dialinasikan dari konstruksi relasi social, politik, ekonomi, dan budayanya. Kekalahan Tuhan ini disebabkan tarikan kepentingan diri, kroni, obsesi, ambisi, amarah, dan dendam jauh lebih diberi tempat secara superoristik dan tiranik, sehingga tampilan perilakunya tidak lagi memproduksi penghormatan terhadap sesama manusia, tetapi ragam pembinatangan yang mencederai bangunan peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H