Ada suatu dialog menarik antara Zainab RA dengan Nabi Muhammad SAW. Zainab bertanya kepada Nabi, "apakah kita akan binasa di tengah-tengah orang-orang jahat atau munculnya Ya'juj Ma'juj, sedangkan diantara kita masih ada orang-orang saleh"? "Ya", jawab Nabi, bilamana terdapat banyak kejahatan.
Dialog Nabi tersebut mengajarkan mengenai hubungan antara kebinasaan dan kehancuran yang menimpa umat, rakyat dan bangsa dengan perilaku kriminal yang berjuluk Ya'juj Ma'juj.Â
Yakjuj Ma'juj telah muncul  dan menjelma di tengah masyarakat, di dalam diri kita, di lingkaran pemimpin kita, dan di berintegrasi dalam perbuatan-perbuatan jahat kita.
Maraknya pola berkelakuan "durjana" bertipologi Yakjuj Ma'juj merupakan bentuk pembenaran kejahatan yang mengakibatkan Allah SWT mengirimkan hukuman yang setimpal.Â
Allah tidak akan begitu "sadis" dan menjatuhkan azab di luar batas kemampuan dan keberdayaan manusia, manakala perilaku manusia tidak demikian otoritarian, arogan, dan mengabsolutkan kejahatan sebagai kiblatnya, serta mudah menjadikan rakyat atau sesama sebagai tumbal kebiadaban, apalagi yang dilakukan dengan kekuatan para kafilah kedurjaannya.
"Dimanapun manusia berada, azab akan selalu mengikutinya ketika manusia telah memutuskan hubungan dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas)", demikian peringatan Allah.Â
Hilangnya kemesraan hubungan denganNya ini membuat hidup manusia kehilangan makna (meaningless). Dengan sirnanya makna ini, manusia menjadi jauh dan termarginalisasi dari berkah, rahmat dan hidayah yang mencerahkan dan membahagiakannya.
Degang tegas firman Allah memperingatkan, "Dan bilamana kami ingin menghancurkan sebuah negeri, Kami suruh kelompok matraf-nya (membaca peringatan Kami), tapi malah mereka menjadi fasik (melewati batas dan berfoya-foya). Oleh sebab itu pantaslah mereka diberi azab, lalu Kami hancurkanlah (negeri) Â sehancur-hancurnya" (QS, 17: 16).
Istilah matraf itu bermakna hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya, yang terkait dengan kelompok pemimpin dan golongan kaya (di dalamnya juga termasuk pemimpin) yang tidak punya prinsip kokoh dalam kebenaran dan amanat, kecuali prinsip hedonisme kelompok. Mereka ini adalah orang-orang  yang mabuk dalam kemewahan kekuasaan, kekayaan, dan status sosial.Â
Menurut Syamsul Ma'arif (1996), Golongan mutrafun adalah orang-orang yang suka menentang kebenaran yang dibawa para rasul dan  sangat pongah dengan kekuasaan dan kekayaannya.