"Bangsa hebat adalah bangsa yang tidak kenal berhenti dalam belajar sejarah," demikin pernyataan Frederick Nick, yang sejatinya mengingatkan, bahwa sudah banyak bangsa-bangsa di muka bumi ini yang melahirkan banyak generasi hebat yang sukses menorehkan tinta emas, yang kesuksesannya ini tidak lepas dari kemauan dan kemampuannya dalam membaca dan meneladani para pendahulunya atau siapapun yang menorehkan peristiwa sebagai literasi historis.
Jika menggunakan referensi pikiran pakar itu, maka sebagai subyek bangsa terdidik, kita mesti belajar sejarah. Kita harus sering-sering membuka agenda historis, alias mencari dan membaca peristiwa yang pernah terjadi, baik yang menyenangkan maupun menyusahkan (memprihatinkan).
Dari literasi historis, ada keragaman cerita atau "hikayat hidup". Jenis cerita mesti ada yang membahagiakan atau memuaskan, seementara jenis cerita lainnya sulit menihilitaskan cerita pahit atau menyesakkan dada: elegi kehidupan. Dua cerita ini menjadi warna yang menghiasi realitas perjalanan hidup manusia, bangsa, dan negaranya.
Sebagai sampel, Sebagian elemen bangsa ini tentulah masih ingat tentang pernah  hangatnya perbincangan banyak pihak tentang "pelajaran sejarah" yang bermula dari kasus pelecehan terhadap Pancasila yang dilakukan militer Australia. Gatot Nurmantyo saat menjadi Panglima TNI misalnya saat itu menilai pelecehan yang dilakukan militer Australia terhadap Indonesia sudah cukup lama. Namun, baru saat ini saja ditemukan bukti di dalam sistem kurikulum pendidikan militernya, yang "tidak menghormati" ideologi Indonesia.
Memang pelecehan yang dilakukan militer Australia itu membuat bangsa ini layak marah. Dasar negara yang tentu saja menjadi pijakan bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini, seharusnya tidak boleh dihina atau dilecehkan oleh bangsa manapun.
Australia yang sudah beberapa kali berurusan dengan Indonesia, tampaknya belum jera dan masih berkeinginan  melanjutkannya. Masuknya pelecehan Pancasilan dalam kurikulum merupakan suatu bentuk pelecehan yang tersistematis, karena masuk menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran.
Logis saja saat itu jika Presiden Joko Widodo meminta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menghentikan kerjasama militer, pasalnya  pelecehan yang dimasukkan ke dalam sistem pendidikan militer Australia sangat bertentangan dengan ideologi Indonesia.
Itu artinya, pemerintah Australia sengaja menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai ideologi yang bermasalah yang ideologi ini disebar di ranah proses pembelajaran untuk ditempatkan sebagai obyek (substansi) dibenci. Bagi kita, bisa saja marah dengan menuding, ada apa Australia mengurus ideologi kita? Â
Meski begitu, ada "pelajaran" yang menarik untuk diambil hikmahnya. Yakni dalam proses pembelajaran di dunia pendidikan di negeri ini, haruslah dikembangkan pola pembelajaran yang mencintai ideologi sendiri dan menghormati ideologi negara-negara lain.
Tidak perlulah mengajarkan pada anak-anak atau subyek (manusia) Indonesia lainnya untuk membenci Australia karena kebencian atau perlakuan buruk Australia terhadap Indonesia, dan sebaliknya, mereka harus diajarkan tatacara membangun visi dan militansi nasionalistik yang berpijak pada Pancasila, bahwa semua elemen bangsa ini memang "sangat" mencintai ideologinya.
Pernyataan, sikap, atau perilaku segelintir orang atau elemen pemerintahan Australia, tidak perlulah harus dibalas dengan cara membentuk visi dan sikap (kepribadian) anak Indonesia menjadi antipati dengannya. Yang perlu kita lakukan dan kembangkan justru membentuknya menjadi subyek edukasi supaya menjadi elemen bangsa yang jiwa raganya Pancasilais.