Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Luther dan Koruptor

12 Februari 2020   19:25 Diperbarui: 13 Februari 2020   06:07 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marthin Luther pernah mengingatkan, di tengah kekacauan (chaos), yang paling banyak menuai keuntungan adalah para bajingan. Semakin banyak dan kekacauan terbentuk di tengah kehidupan kemasyarakatan dan kenegeraan, maka semakin banyak keuntungan yang diperoleh para bajingan.

Itu peringatan Luther yang sangat keras. Luther tidak menginginkan kekacauan terjadi, pasalnya kekacauan merupakan virus yang bisa dibuat dan diproduk oleh para "produsen" kekuaaan dan kroni-kroninya untuk menciptakan atmosfir instabilitas, menakutkan, dan serba tidak jelas.

Kata "bajingan" seperti disebut  Luther  memang merupakan representasi seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan keuntungan dengan cara-cara curang. Diantara bajingan ini adalah "bajingan berdasi". Bajingan ini menginginkan kekacauan karena dari kekacauan ini, banyak pihak yang tidak terfokus memikirkan dirinya, bahwa dirinya adalah "masalah" yang sebenarnya.

Kalau semula dirinya masuk dalam ranah sebagai target penegakan hukum  atau pengimplementasian sistem peradilan pidana (criminal justice system), maka berkat kekacauan yang menimpa institusi peradilan atau siapapun yang semula menunjukkan sikap kritis padanya, akhirnya dirinya dilupakan atau diposisikan sebagai target "kelas dua", alias bukan  prioritas.

Komunitas bajingan yang bisa melakukan itu tentu saja yang bermasalah serius pada bangsa ini, yakni koruptor. Koruptor merupakan sosok lihai dan licin, serta kejam dalam menghadirkan berbagai bentuk "mainan" yang membuat masyarakat atau aparat negara  kehilangan komitmen utamanya di bidang penegakan hukum (law enforcement).

Beberapa kali pernah terjadi, beragam terror  melalui SMS atau telpon dialamatkan pada petugas-petugas atau penyidik Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Mereka dibuatnya menghadapi atmosfir yang menakutkannya. "kekacauan" pikiran dan psikologis diduga dibuat oleh para koruptor supaya dirinya tidak menjadi pusat perhatian.

Jika mereka tidak mampu menyikapi ketakutan, pekerjaan utamanya dalam memberantas korupsi bisa tereduksi dan bahkan terdegradasi. Bajingan yang nekad melakukan ini tentu saja berelasi dengan korupsi di ranah yang serius.  Mereka bereksperimen mendisian kondisi yang semula terfokus kepadanya menjadi kondisi yang tidak mengancamnya.

Jika petugas atau penyidik KPK menghadapi situasi itu terus menerus, bukan tidak mungkin orientasi kinerjanya menjadi terganggu. Duri seperti ini memang sulit dicegah dari kemungkinan menyerang KPK atau setiap penegak kebenaran, pasalnya dimanapun yang namanya kebenaran mestilah  menghadapi berbagai bentuk kejahatan yang berusaha mematikannya.

Akar penyebab utama terjadinya dan membudayanya korupsi hingga menjadi penyakit yang mencengkeram sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah berkat kehebatan dan militansi koruptornya dalam menjalankan aksi-aksi kriminalisasi sistemiknya, serta akibat aparat penegak hukum yang mentolelir, bersifat kompromistik, tidak benar-benar memelekkan mata untuk mengawasi sepak terjangannya (koruptor), atau tidak transparan  dan maksimal saat menjaringnya, atau yang kalah dalam kompetisi adu strategi dengan koruptor.

Dalam logika, koruptor tidak akan berani melebarkan daya cengkeram kekuataan dan "keperkasaannya", manakala sikap dan geraknya terus berada dalam pengawasan dan konsistensi sikap aparat penegak hukum. 

Potret negara-negara lain yang terkenal sebagai negara bersih dan berwibawa, adalah berkat maksimalitas kinerja aparat penegak hukum atau tidak terlibatnya aparat dalam drama dan budaya korupsi. Mereka juga punya mental gigih dan militan serta independen  dalam menegakkan norma yuridis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun