Mohon tunggu...
Abdul Rahmat
Abdul Rahmat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kasihan Metro TV Cuma Jadi "Barang Dagangan" Oknum Kontributor

31 Agustus 2016   15:05 Diperbarui: 31 Agustus 2016   15:12 2767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Menanggapi tulisan dari Last Wiastuti yang mendapat respon bernas dari Saudara Abdul Jalil Hermawan, disini posisi saya ingin menjadi penengah, kita harus mendudukan masalah dulu terkait peranan kontributor TV. Disatu sisi kita memang tidak bisa mengeneralisasi peranan kontributor yang seperti disangkakan oleh Last bahwa peran kontributor kerap bermetamorfosa menjadi "predator-predator" terhadap narasumber maupun instansi-instansi untuk mengeruk keuntungan materi semata.

Akan tetapi disisi yang lain, kita juga tak boleh menutup mata, ada juga oknum kontributor yang sering memanfaatkan nama besar TV nya ditempatnya bekerja dan ketika dilapangan ada yang menjanjikan atau bahkan mungkin mengancam terhadap narasumber/instansi-instansi. Saya kira ini lah yang perlu diatur ulang aturan untuk mempekerjakan kontributor agar tidak merusak citra TV tempatnya bekerja.


 Sebenarnya kalau kita bersikap jernih memandang debat antara Last dan Abdul, inti polemik itu bermula dari surat pemecatan terhadap saudara HM (sebagaimana surat yang dilampirkan pertama kali oleh Saudara Last). Diketahui, dalam keterangan surat pemecatan saudara HM dipecat lantaran;
 - "Tidak menjalankan fungsi sebagai kontributor Metro TV yang harus menjunjung etika profesi, ketika Saudara berada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bertindak laksana Liaison Officer (LO) bagi individu yang bermasalah secara hukum"
 - "Sebagai kontributor Metro TV yang memahami tugas jurnalistik justru Saudara menghalang-halangi wartawan lain termasuk tim Metro TV dalam peliputan di KPK".

Dua poin diatas sebenarnya sudah clear sekali bahwa kontributor Metro TV yang tertera disurat itu bernama HM telah melakukan pelanggaran profesi sebagai seorang jurnalis. Pelanggaran itu sudah pasti merupakan kesalahan fatal, dan bisa diangggap sebagai zero toleranalias tak termaafkan.

Merujuk pada pelanggaran etika, jelas secara common sense peran wartawan sudah dari kodratnya tidak boleh bersikap memihak kepada obyek maupun subyek yang dijadikan sumber beritanya. Meskipun soal independensi wartawan bersifat sangat debatable, tetapi jika merujuk alasan dari surat itu, menjadi tak bermoral jika kita membela wartawan yang 'bertindak laksana Liaison Officer (LO) bagi individu yang bermasalah secara hukum'.

Maka wajar saja jika pihak TV yang bersangkutan langsung bereaksi dan memecatnya karena saya mendengar ketika berada di KPK HM masih mengenakan seragam Metro TV. Tentu korporasi media sebesar Metro TV tidak mau dirusak reputasinya hanya untuk mempertahankan seorang HM.


 Lanjut pada poin alasan pemecatan kedua, frasa yang sangat jelas disebutkan diatas adalah “menghalang-halangi wartawan lain termasuk tim Metro TV dalam peliputan di KPK”. Jika merujuk pada UU Pers No 40 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”, ayat 2 “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”, ayat 3 “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.
 Lalu bagaimana jika seseorang melakukan pelanggaran sebagaimana bunyi dari UU tersebut? Jawabannya ada di Pasal 18 yang berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)


 Apa artinya? sudah sangat terang jika yang bersangkutan dalam surat itu telah melakukan pelanggaran baik secara etika maupun pidana.
 Saya setuju pendapat Last yang mengatakan kerap kali peranan kontributor kelewat dominan ketimbang reporternya. Saya sering mendengar berdasarkan laporan teman-teman yan bertugas meliput di DPR, bahwa HM sering mendaku diri kepada anggota-anggota DPR bahwa TV nya

tempat dia bekerja, pasti menaikan hasil liputannya dan memberikan jaminan bahwa dirinya punya peran besar di TV tersebut. Tentunya jaminan yang belum tentu ada garansinya itu mensyaratkan ‘uang pelicin’ tertentu. Metro TV tampaknya hanya menjadi 'barang dagangan' saja oleh HM. Tidak heran jika yang bersangkutan selalu terlihat dari Senin-Jumat menggenakan seragam Metro TV yang berwarna biru, yang seolah dengan seragam itu 'derajatnya' sama dengan reporter.

HM tahu diri, karena dengan logo dan seragam TV politik terbesar di Indonesia itu, yang bersangkutan bisa dikenal. Bukan karena sosok personalnya. Dengan seragam yang tampaknya tidak pernah dicuci selama hampir satu minggu itu dirinya bisa menjual dan mengeruk pundi-pundi Rupiah yang angkanya; saya cuma bisa ngomong fantastis!.


Selain itu, ada juga modus berlagak diri menjadi koordinator lapangan bagian media. Semisal ada kerumunan wartawan tengah mewawancarai anggota DPR, terus selesai kerumunan itu bubar, dia kemudian mendekati si narasumber dengan mengklaim dia lah yang berjasa mengumpulkan para wartawan itu sembari meminta 'uang jasa'. Saya dengar kawan-kawan wartawan di DPR sudah tahu 'lagu lama' itu, dan mereka paling hanya bisa menggerutu karena namanya telah dijual untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan saja.

Padahal teman-teman yang melakukan peliputan di Parlemen tujuan nya hanya untuk mencari berita, tapi dengan modus itu, kawan-kawan dimata narasumber DPR jadi kena getahnya, karena dianggap telah menerima 'titipan' itu melalui HM. Citra teman-teman pun jadi rusak akibat ulah si kontributor tersebut.


 Untuk itulah melalui tulisan ini, secara pribadi saya mengingatkan kepada narasumber-narasumber khususnya anggota DPR agar tidak langsung mempercayai jika ada kontributor yang dimaksudkan itu meminta wawancara dan memberikan jaminan komentarnya akan naik di TV tersebut. Bisa jadi itu hanya akal-akalan saja, berlagak merekam padahal tombol switch on nya tidak menyala.

Saya jadi prihatin, melihat kelakuan oknum kontributor itu laksana wartawan bodrex. Hanya bermodal handy cam, berseragam 'TV besar' kemudian meminta uang kepada narasumber. Seorang narasumber anggota DPR malah pernah ada yang menggerutu kalau dia sering memberikan 'uang jasa' tapi beritanya 'enggak pernah nongol' di TV.

Tapi ada juga anggota DPR yang juga sudah paham 'lagu lamanya' itu dan menggerutu; 'kasihan Metro TV, namanya bisa rusak karena ulah si HM'.
Tapi yang patut disayangkan, kenapa ketika surat pemecatan itu sudah beredar, yang bersangkutan masih berkeliaran dengan seragam kebesaran TV berlambang garuda tersebut. Tentunya akan menjadi pertaruhan TV itu masih ‘memelihara’ kontributor yang jelas-jelas nir-etika kejurnalistikannya tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun