Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... -

Saya adalah lulusan fakultas hukum yang menyukai IT. Menulis hanya untuk mengisi waktu luang dan mencurahkan gagasan yang terpendam di otak agar tidak mampet.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Hanya Pintar Menghujat, Mari Juga Kita Cerdaskan Rakyat

12 Desember 2011   13:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:26 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak terasa sudah lebih dua tahun pemerintahan SBY- Boediono berjalan. Pemerintahan yang didukung lebih dari 60% suara rakyat pada pemilihan presiden tahun 2009 sangat diharapkan sekali oleh rakyat pemilih untuk dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Namun apa hendak dikata, semua itu hanya impian kosong belaka. Dukungan rakyat yang sedemikian besar tidak sesuai dengan harapan mereka. Pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah hanya dinikmati oleh segelintir orang2 berduit atau yang dekat dengan kekuasaan, sedangkan rakyat jelata tidak begitu merasakannya. Rakyat kecil masih mengalami kelangkaan sembako, bahan bakar minyak dan pemadaman listrik bergilir. Biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Hutang-hutang luar negeri terus membengkak. Kasus-kasus korupsi makin banyak terungkap tanpa ada tindakan yang jelas di republik ini karena penegakan hukumnya terlalu lemah.

Kelemahan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan dan penegakan hukum menimbulkan kritik, protes maupun hujatan dari berbagai kalangan masyarakat.Kritik melalui media dan protes melalui demonstrasi yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap penguasa sudah menjadi pemandangan umum sehari-hari, bukan hanya di ibukota tapi juga sampai ke daerah-daerah. Bukan hanya presiden yang menjadi objek protes ketidakpuasan, sampai ke tingkat kepala desa pun sering terjadi. Ini adalah hal yang wajar dalam sebuah negara demokrasi, di mana semenjak reformasi 1998 rakyat telah mendapatkan kebebasan mengemukakan pendapat yang sebelumnya dikekang oleh pemerintahan Orde Baru.

Namun kebebasan mengemukakan pendapat itu seringkali dilakukan secara tidak cerdas dan melanggar etika. Tindakan anarki dan vandalisme seringkali menjadi bahagian dalam aksi demonstrasi di berbagai tempat. Hal ini tentunya menimbulkan ketidaknyamanan dan antipati bagi masyarakat. Lagipula aksi-aksi protes dan kritik yang disampaikan itu belum tentu mendapat respon yang baik dari penguasa. Sayang sekali jika kita sudah capek-capek berteriak menyuarakan aspirasi ternyata suara kita tidak didengar. Sangat memprihatinkan sekali ada yang sampai nekad membakar diri seperti seorang mahasiswa di Jakarta bernama Sondang Hutagalung sebagai bentuk protesnya terhadap penguasa. Jika penguasa tetap tidak peka dengan keinginan rakyat, akankah aksi protes dan ketidakpuasan terhadap pemerintah ini akan terus memakan korban? Tentunya kita berharap agar hal ini tidak terus berlanjut.

Di negara ini memang banyak terdapat orang pintar yang kritis, namun kebanyakan tidak mampu memberikan solusi yang nyata terhadap perubahan ke arah yang lebih baik. Mereka hanya bisa mengkritik tanpa memberikan pencerahan yang mencerdaskan kepada masyarakat. Semua bentuk kritik dan protes yang disampaikan dalam berbagai cara hanya akan menguras energi dan tidak menghasilkan apa-apa jika tidak ditanggapi oleh pihak yang dikritik atau diprotes. Jika kritik dan protes tidak didengar oleh penguasa, berarti ada yang salah dengan proses demokrasi di negara ini. Rakyat perlu introspeksi diri terhadap kekeliruan dalam penyelenggaraan proses demokrasi, apakah selama ini kita telah memilih pemimpin dan wakil rakyat secara bijak dan cerdas?, atau cuma memilih karena iming-iming uang dan janji-janji tanpa melihat reputasi dan kapabilitas orang yang akan dipilih?

Teringat saya dengan pandangan Samuel P. Huntington bahwa, “Kualitas demokrasi di suatu negara ditentukan oleh pendapatan per kapita.” Jika rakyat suatu negara cerdas dan sejahtera mereka pasti akan mampu menjalankan demokrasi dengan benar dan tidak akan terpengaruh dengan politik uang. Dalam pandangan saya kemiskinan dan kebodohan adalah alat bagi penguasa yang tamak dan serakah dalam melanggengkan kekuasaan. Rakyat yang miskin dan berpendidikan rendah sangat mudah dipengaruhi oleh uang dalam permainan politik, sudah banyak contohnya terlihat dalam Pemilu dan berbagai pemilihan kepala daerah di negara ini.

Karena itu saya mengajak kaum intelektual atau orang-orang terpelajar di negeri ini untuk jangan hanya pandai memprotes dan mengkritik penguasa. Cobalah buat masyarakat di sekeliling kita menjadi cerdas sehingga mereka tidak mudah lagi dikibuli oleh calon-calon pemimpin dan wakil-wakil rakyat nantinya pada Pemilu atau Pilkada di masa yang akan datang. Sangat disayangkan jika orang-orang pintar di negeri ini menggunakan politik sebagai alat untuk memperbodoh rakyat, bukan untuk mencerdaskan dan merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun