Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... -

Saya adalah lulusan fakultas hukum yang menyukai IT. Menulis hanya untuk mengisi waktu luang dan mencurahkan gagasan yang terpendam di otak agar tidak mampet.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mewaspadai Bentuk Penjajahan Gaya Baru

11 Maret 2011   13:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:52 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12998492881936051687

Belakangan ini berita luar negeri dihebohkan dengan krisis di negara-negara Arab, mulai dari Afrika Utara sampai ke Asia Barat. Satu-persatu pemimpinnya jatuh oleh kuatnya desakan mundur dari rakyatnya. Mulai dari Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, kini Muamar Khadafi di Libya pun mulai didesak untuk turun dari tahtanya. Negara-negara Arab lain juga mengalami hal yang hampir serupa seperti Yaman dan Bahrain, para pemimpinnya dituntut untuk mundur atau merubah sistem pemerintahan yang ada. Kita semua mungkin sepakat bahwa pemimpin diktator harus dijatuhkan jika dia menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Namun setelah pemimpin itu jatuh, apa yang harus diperbuat? Mungkinkah dengan kejatuhan pemimpin yang diktator itu akan merubah suatu negara ke arah lebih baik. Saya pikir mustahil rasanya tanpa adanya tekad dan kemauan yang kuat dari para pemimpin dan seluruh warganegaranya untuk berubah ke arah yang lebih baik. Coba lihat Irak setelah kejatuhan Saddam Hussein, Indonesia setelah kejatuhan Soeharto, apakah menjadi lebih baik? Bandingkan dengan Jerman dan Jepang setelah kekalahan di Perang Dunia II, mereka bangkit menjelma menjadi kekuatan ekonomi dunia. Irak adalah negara yang kaya dengan minyak bumi dan mineral lainnya, begitu juga dengan Indonesia mungkin melebihi Irak, yang posisinya strategis dan bisa menjadi pasar yang potensial karena penduduknya yang banyak. Negara yang seperti ini sangat menguntungkan untuk dikuasai hasil kekayaan alamnya, tentunya bukan dengan cara penjajahan gaya lama seperti di abad pertengahan. Negara-negara maju yang berpaham kapitalis seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan lebih di negara-negara yang strategis dan mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Mereka akan selalu menjaga kepentingan bisnisnya di negara-negara yang kaya sumber daya alam ini dengan segala cara. Jika kepentingan bisnisnya terganggu mereka tidak segan-segan menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa. Irak adalah salah satu buktinya, sampai sekarang belum terbukti tuduhan bahwa Irak mengembangkan senjata biologis, dan Amerika pun akhirnya menguasai ladang-ladang minyak Irak. Saya teringat dengan status Facebook salah seorang anggota DPR dari fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari bahwa 80% bisnis pertambangan dan 70% bisnis perbankan di Indonesia telah dikuasai oleh asing. Sering terjadi kelangkaan pupuk. Tanah kita subur, tapi kok beras masih diimpor? Rakyat juga masih banyak yang kelaparan. Konflik dengan kekerasan masih terjadi di mana-mana. Apa manfaatnya kita melakukan reformasi dan menjatuhkan Presiden Soeharto jika tidak ada perubahan ke arah yang lebih? Atau apakah ini semua ini didesain agar ekonomi kita secara perlahan dikuasai oleh asing? Dalam pandangan saya, negara kita sebetulnya telah dijebak oleh kepentingan asing dalam menguasai kekayaan alam negara yang kita cintai ini. Banyak aset-aset negara ini seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernilai strategis dijual kepada asing. Kepentingan rakyat sudah dikalahkan oleh permintaan pasar. Para pemimpin kita sudah terbius dengan iming-iming hutang luar negeri yang jumlahnya semakin hari semakin membengkak. Lantas bagaimana pemerintah menjalankan amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jika aset strategis dan kekayaan alam kita sudah banyak dikuasai oleh asing. Bagaimana negara bisa memakmurkan rakyatnya jika selalu bergantung pada hutang? Selain itu, kita ditawari berbagai program ala barat atas nama reformasi dengan iming-iming dana bantuan keuangan yang jumlahnya menggiurkan. Bagi saya pribadi, segala macam paham dan masukan dari luar, jika itu tidak disesuai dengan kondisi masyarakat lokal hanya akan menghasilkan korupsi, kemiskinan dan kerusuhan, lihat saja hasilnya seperti Pilkada dan otonomi daerah. Padahal dahulu kala nenek moyang kita selalu mengutamakan proses musyawarah untuk mufakat dalam memilih pemimpin, bukan dengan mekanisme voting ala barat. Pemimpin bagaimana yang akan dihasilkan melalui pemilihan oleh rakyat di suatu negara yang 80% berpendidikan rendah?, coba anda bayangkan. Bayangkan juga dalam suatu gedung parlemen yang mempunyai 500 orang anggota, jika hanya 10% yang menyuarakan kebenaran, pastilah mereka kalah dalam mekanisme voting dalam mengambil keputusan. Jika pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih mempunyai banyak kelemahan pastinya akan mudah dipengaruhi dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Mereka bisa saja disuap agar bisa meloloskan suatu kebijakan yang menguntungkan dan melindungi kepentingan asing. Mereka yang punya sifat seperti ini sangat membahayakan kepentingan negara di masa yang akan datang. Kita akan selalu terjajah jika selalu memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bermental budak seperti ini. Akhirnya saya menghimbau para pembaca melalui tulisan ini agar selalu waspada dalam menyikapi bentuk penjajahan gaya baru ini. Semoga di masa yang datang kita mendapatkan pemimpin dan wakil rakyat yang pro kepentingan rakyat, bukan pro kepentingan asing. Kita bangsa yang merdeka, bukan bangsa terjajah yang selalu bergantung kepada bantuan asing. Semoga bangsa-bangsa di tanah Arab dapat belajar dari pengalaman Indonesia dan Irak dalam melakukan proses reformasi agar tidak kebablasan. Kita perlu mencontoh semangat kebangkitan bangsa Jepang dan Jerman setelah terpuruk akibat kekalahan Perang Dunia II. Mereka sekarang telah berubah menjadi negara maju berkat usaha keras dan kegigihan pemimpin dan rakyatnya yang ingin berubah ke arah yang lebih baik. Pariaman, 11-3-2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun