Mohon tunggu...
Abdul Qodir Zaelani
Abdul Qodir Zaelani Mohon Tunggu... -

Pengamat Pendidikan, Sosial dan Keagamaan (Dosen Luar Biasa IAIN Raden Intan Lampung)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bolehkah Berzikir Dengan Bersuara (Jahr)?

13 Agustus 2012   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:51 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya ingin berbagi kisah tentang perbedaan pendapat di kalangan umat muslim. Kali ini perbedaan pendapat mengenai zikir setelah sholat berjamaah.

Terlihat beberapa pengurus masjid sedang berdiskusi perihal permasalahan yang terjadi di masjidnya. Saya pun ikut nimbrung untuk membahasnya, karena kebetulan saya bagian dari jamaah tersebut. Setelah lama menyimak pembicaraan, ternyata yang dibahas adalah masalah zikir setelah shalat. Pasalnya, kebiasaan berzikir setelah shalat dengan bersuara (jahar) beberapa hari ini tidak dilakukan lagi, alasannya karena berzikir dengan bersuara (jahar) tidak ada tuntunan dari Nabi dan termasuk perbuatan mengada-ngada, bahkan dikatakan akan tertolak amal perbuatan ini. Para pengurus masjid ini  tidak terima dianggap sesat, dianggap tidak sesuai dengan  ajaran Nabi, sementara para ulama sebelumnya melakukan hal ini.

Saya kemudian menerawang  jauh, dan berpendapat bahwa memang permasalahan seperti ini kerap terjadi di kalangan umat muslim. Perbedaan faham dan keyakinan ini terkadang menjadikan umat terpecah belah dan mengikis tali ukhuwah yang pernah terjalin. Bahkan yang  paling naif, karena perbedaan faham, mereka mendirikan masjid untuk golongannnya, yang tidak jauh dari masjid yang ada. Hal ini pernah saya lihat ketika saya masih kuliah di Jogja. Ketika itu saya main ke tempat teman saya di Lamongan. Saat memasuki jalan kampung yang menuju rumah teman saya. Pada saat itu hati saya sangat bahagia karena di hadapan saya berdiri megah sebuah masjid di pinggir jalan. Karena bagi saya, jika disebuah kampung ada masjid, berarti benteng umat Islam masih berdiri dan kepedulian terhadap perkembangan Islam masih ada yang melanjutkan.  Beberapa puluh meter setelah saya berjalan, betapa kagetnya saya, satu masjid lagi berdiri megah. Hati saya bertanya-tanya, kok bisa ada 2 masjid dalam satu jalur kampung yang tidak begitu jauh?. Saya langkahkan kaki saya kembali, belum terjawab pertanyaan tersebut, beberap puluh meter dari posisi mesjid yang kedua,  kembali saya dikejutkan dengan keberadaan mesjid persis berada di depan rumah teman saya. Pertanyaaan yang masih bergelayut ini terus bergejolak, kok bisa dalam satu jalan di perkampungan, tidak lebih dari 500 meter, ada 3 mesjid? pasti ada apa-apanya ini?

Kembalikan Kepada Ajaran Nabi

Pertanyaan ini saya tanyakan kepada teman, alangkah kagetnya saya, teman saya menyatakan bahwa  mesjid yang pertama yang saya lihat adalah milik LDII, ke dua masjid Muhammadiyah, dan ketiga masjid Nahdhatul Ulama. Kenapa bisa terjadi?. Teman saya menjawab, di sini semuanya merasa paling benar, tidak mau ada yang salah, sehingga untuk membenarkan pendapatnya, mereka semua mendirikan masjid. Sehingga masing-masing faham dan golongan bisa beribadah di masjidnya masing-masing. Berarti tidak bisa dipersatukan lagi? tanyaku. "ya' jawab temanku.

Saya kemudian berfikir, dimanakah falsafah warna-warni kehidupan?. Dimanakah aplikasi falsafah perbedaan pendapat adalah rahmat? Padahal indahnya hidup karena dipenuhi dengan warna-warni. Indahnya alam ini karena dihiasi berbagai warna. Bersatu dalam perbedaan, ternyata hanya sebagai pameo belaka. Ukhuwwah ternyata kini menjadi barang yang sangat mahal harganya.

Kenyataan ini tidak ingin terjadi di masjid kampung saya. Maka saya pun kemudian mencari sumber masalah mengenai zikir setelah shalat wajib, apakah ada pada masa Nabi? Sehingga apa bila ini ditemukan sumbernya, maka tidak ada lagi perselisihan yang terkadang mengeluarkan urat syaraf dan memutus tali ukhuwah islamiyah.

Setelah saya membuka-buka kitab hadis, ternyata ditemukan bahwa berzikir dengan bersuara (jahar) setelah shalat wajib, menjadi kebiasaan pada masa nabi. Hal ini terdapat dalam kitab Shahih Bukhari Jilid 1 hadis yang ke-805, dan Shahih Muslim Jilid 1 Hadis yang ke-583, yang berbunyi, "Qoola Amr anna Aba Ma'bad Maula Ibn Abbas akhbarahu anna Ibn Abbas radiyallahu anhuma akhbarahu anna raf'ashouti bidzikri hina yansharifunnasa minal maktubah kana'alannabi shallahahu alaihi alahi wasallam, qola ibn abbas kuntu a'lamu idzansharafu bidzalika idza sami'tuhu", yang berarti, "Amr berkata, bahwa Abi Ma'bad Maula Ibn Abbas mengkabarkan bahwa Ibn Abbas r.a mengkabarkan bahwa mengangkat suara dengan berzikir pada saat manusia selesai melaksanakan sholat wajib ada pada masa nabi, Ibn Abbas berkata, aku mengetahuinya ketika manusia selesai-shalat wajib-melaksanakan hal itu, saya juga mendengarnya".

Bila dilihat dari hadis ini, bahwa membaca zikir dengan bersuara (jahar), ada pada zaman nabi. Hadis ini memberikan isyarat bahwa berzikir dengan suara boleh dilakukan, namun bukan sebuah perintah. Bila kita melaksanakannya, maka kita termasuk membiasakan sunnah nabi, namun bila tidak melakukannnya, tidak berdosa.

Setelah saya menyampaikan hadis ini, pengurus masjid pun kembali berzikir dengan bersuara (jahar) karena tahu ada dalil yang membolehkannya,  sementara mereka yang tadinya menyatakan bahwa hal ini adalah mengada-ngada, telah  menyadari bahwa tindakan mereka tidak baik, apalagi menyalahkan dan menyesatkan pendapat orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun