Lantas di mana ruang dialog yang di buka oleh para kontestan, yang akhirnya pilkada kita berkesan pilkada prosedural belaka. Apakah bakal kontestan yang mulai muncul di permukaan sekarang mampu membuka ruang dialog, katakanlah putra mahkota bima (Yandi) yang perhari ini sudah mulai terpampang balihonya, indkasi yandi menjadi pemimpin yang ekslusif sudah jelas terlihat.Â
Waktu pileg kemarin saja meraih suara terbanyak di angka 8.000an suara di dapil Bima 2 (Bolo-Madapangga) tanpa kampanye, tanpa sosialisasi dan tanpa interaksi dengan masyarakat mampu mengalahkan semua caleg. Di pilkada bagaimana ? Apa bedanya ? Yandi gak memiliki kompetensi untuk berbicara dengan rakyat, oleh sebab itu dia hadir sebagai putra mahkota, anaknya bupati sekarang (IDP), bukan hadir sebagai calon nahkoda yang berkompeten.
Dari hulu ke hilir di back up oleh kekuasaan. Melanjutkan kemelaratan rakyat yang telah menjadi kinerja bupati bima sekarang. Sudah terpampang jelas baliho di pinggir-pinggir jalan, rakyat berharap ada interaksi produktif. Namun apa boleh buat, setengah dekade yandi menjadi ketua DPRD periode 2019-2024 masalah rakyat dalam bentuk apa yang sudah di selesaikan, kemarin pada saat ramainya problem anjloknya harga Jagung mana ada IDP dan Yandi mengangkat suara tegas sebagai Pimpinan Daerah dalam proaktif mengawal stabilitas harga jagung. IDP dan Yandi bungkam dan abai dalam persoalan primer rakyat. Bungkam dan Abai dalam melihat kesengsaraan rakyat sama halnya masuk barisan aktor penindas.
Tulisan ini ilustration pilkada sekaligus fakta-fakta empirik lapangan yang terjadi sekarang dan pada periodisasi sebelumnya. Jika nama yang di sebutkan dalam tulisan ini tersinggung dan mungkin merasa ada yang di lebih-lebihkan, ayo agendakan forum terbuka. (abdlnjb)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H