Tulisan ini Lahir ditengah sikap skeptis dan pesimis masyarakat terhadap kondisi sekarang dalam membentuk sebuah kebijakan dan penegakannya. sikap skeptis masyarakat terjadi karena berbagai perkara hukum di Negara ini, khusus pada pengambilan kebijakan pemerintah dalam pembentukan sebuah aturan.
Salah satu persoalan sekarang, dunia sedang menghadapi masalah yang paling fenomenal (Pandemi Covid-19), mau tidak mau Negara hingga lapisan masyarakat harus bekerja sama dalam menghadapai Pandemi Covid-19 ini.
Fokus pada sebuah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap belum ditangani secara tidak pasti dan dirasakan tidak adil dikarnakan misal penanganan perkara pidana, juga soal kebijakan dalam penanganan Covid-19 masih dipengaruhi oleh, katakan itu "uang dan kekuasaan".
Dalam konteks ini penulis perlu membawa pada sekitar era tahun 1970-an, setelah perang dunia ke II, menunjukan tanda keprihatinan yang sangat kuat terhadap eksistensi hukum dalam pengambilan kebijakan dan penegakan hukum. Singkatnya, pada era tersebut dikenal sebagai era secepticism atau "keragu-raguan".
Mengutip Albert W. Alschuler, dalam bukunya yang berjudul "Law Without Values", mengemukakan karaguan disebabkan, pertama, ada kekeliruan atau ketidak jelasan tentang konsep hukum dari sudut pandang pragmatism-utilitarian; kedua, hukum dipahami sebagai kekuatan yang mementingkan diri sendiri atau hukum dipandang sebagai politics unguided by principle atau pada intinya bahwa sebuah politik hukum tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum.
Sepaham dengan Alschuler, Posner menyatakan bahwa pemahaman tersebut karena telah ditafsirkan sebagai applied utilitarianism, yaitu lebih mengutamakan keinginan manusia atau kepentingan kelompok tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat yang lebih besar.
Intinya menurut penulis pemahaman keliru tentang pembentukan sebuah hukum, telah mengunggulkan hawa nafsu untuk kepentingan tertentu(") tanpa dilatarbelakangi kesejahteraan sosial.
Dalam kaitan ini perlu penulis kutip pendapat Robert Bork dalam buku Alschuler, yang menurut pemahaman penulis bahwa penilaian atas kekeliruan tersebut adalah "nilai kesusilaan" dan "etika sosial" yang menjadi dasar seseorang berbuat sesuatu yang berbeda dengan orang lain.Â
Pernyataan Bork meyakinkan penulis bahwa dalam pengambilan kebijakan tanpa nurani, akan sangat jauh dari nilai kesusilaan atau etika sosial. Seperti sudah penulis sampaikan sebelumnya, bahawa kebijakan mengunggulkan hawa nafsu untuk kepentingan tertentu(") tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat yang lebih besar, akan berakibat kehancuran.
Bertolak dari Posner dan Bork dapat dipahami mengapa kemudian Alschuler menyebut keadaan tersebut, bahkan menurut penulis sampai saat ini tetap demikian, yaitu menurutnya "Hukum Tanpa Nilai" (law without values).
Tiga pernyataan ahli hukum semakin mendekatkan pada keyakinan penulis bahwa ada "missing-link", hubungan yang hilang dalam proses legislasi yang perlu dicermati/diprtimbangkan terutama dalam pementukan produk hukum. Missing-link yang penulis maksud adalah proses legislasi produk hukum yang bersumber pada lima sila pada Pancasila sebagai pedoman bangsa Indonesia.