Tantangan dalam Menggabungkan Ide
Mengubah ide dan pemikiran yang sudah ada menjadi penggabungan yang baru adalah pekerjaan yang menantang. Proses dialektis melampaui penjajaran tesis dan antitesis untuk menciptakan sintesis dari konstruksi yang sudah ada sebelumnya. Namun, mengandalkan paradigma masa lalu tidak dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah baru dan substansial.
Mulla Sadra, seorang filsuf yang terkenal dengan penekanannya pada "sintesis", berusaha untuk menyelesaikan ketegangan dalam filosofi-filosofi terdahulu ketika berhadapan dengan beragam wacana. Menyadari bahwa tidak semua masalah menuntut solusi yang sama sekali baru yang terpisah dari kerangka kerja yang sudah ada, ia menyelidiki analisis mendalam tentang pemikiran Islam. Mulla Sadra dengan mahir memadukan ilmu Kalam, yang telah memasuki tahap filosofisnya melalui Nars ad-Din ath-Thusi, filsafat paripatetik Ibnu Sina, dan tasawuf Ibnu A'rabi dan Isyraqiyah Suhrawardi.
Tidak hanya menggabungkan aliran-aliran pemikiran ini untuk membangun perspektif intelektual baru yang dikenal sebagai al-hikmah al-muta'aliyah, Mulla Sadra sangat mementingkan konsep wujud, terutama dalam metafisika. Menurutnya, mereka yang tidak menyadari seluk-beluk wujud akan tetap buta terhadap isu-isu metafisika yang mendasar. Namun, ia menggarisbawahi bahwa pemahaman yang benar tentang wujud membutuhkan pengamatan yang tajam, wawasan intuitif, dan kesimpulan dari efek, tanda, dan simbol-simbolnya.
Kehidupan Mulla Sadra
Para pengikut Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, yang dikenal sebagai Sadr al-Din al-Syirazi atau Mulla Sadra, menyebutnya "Akhund." Beliau lahir dalam keluarga terkemuka di Syiraz sekitar tahun 1571-72 M. Ayahnya, Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, adalah seorang tokoh berpengetahuan luas dan saleh yang pernah menjadi gubernur Provinsi Fars. Kehidupan Mulla Sadra terbagi dalam tiga fase: pendidikan di Syiraz dan Isfahan, pengasingan diri dan pemurnian jiwa di Kahak, serta menulis dan mengajar di Syiraz. Sadra mempelajari banyak bidang keilmuan, fikih, hadis, tafsir, dan penafsiran Al-Qur'an dengan Baha'uddin al-'Amali. Dia juga belajar dari filsuf Mir Fenderski, namun mentor utamanya adalah Mir Damad, seorang pemikir terkemuka yang dijuluki Guru Ketiga. Mulla Sadra meninggal di Irak pada tahun 1640 M karena sakit, yang hingga kini, lokasi makamnya tidak diketahui.
Tulisan dan Pengaruh Mulla Sadra
Semua tulisan Mulla Sadra bernilai tinggi baik secara intelektual maupun sastra, karena disusun dalam bahasa Arab yang jelas dan teratur, kecuali hanya satu kitab Resale Se Asl yang berbahasa Persia. Pengaruh Mulla Sadra sangatlah besar dalam perkembangan filsafat Islam, apalagi dalam membedakan antara konsep wujud dan realitas. Wujud yang dianggap sebagai konsep paling umum dan dikenal, sedangkan realitas tetap tersembunyi meskipun bersifat otentik. Istilah "wujud" itu sendiri sulit untuk didefinisikan dengan ketat; masih banyak para filsuf Islam mencoba menjelaskannya dengan mengatakan bahwa "wujud adalah sesuatu yang membuat sesuatu yang lain bisa diketahui" atau "wujud adalah asal dari semua efek" atau "wujud dari sesuatu adalah apa yang memungkinkan pengetahuan tentang hal itu."
Hanya secara etimologis, asal-usul kata ini dapat ditelusuri dari kata "wajd", yang bermakna "menemukan" atau "mendapatkan pengetahuan" terkait dengan konsep "wijdan", yang merujuk kepada "kesadaran" atau "pengetahuan", serta kata "wajd" yang mengandung arti "kegembiraan" atau "kebahagiaan."
Wujud merujuk pada realitas unik yang mencakup segalanya tanpa terikat oleh kategori atau perbedaan. Keberadaan yang bersifat wujud tidak berbeda secara mendasar atau melalui faktor tambahan; faktor-faktor inilah bagian dari hakikatnya. Oleh karena itu, kejadian-kejadian eksistensial yang serupa memiliki perbedaan dalam hal urutan prioritas dan posterioritas. Menurut Mulla Sadra, bentuk sederhana mencakup semua entitas yang dikenal sebagai "benda," baik yang sempurna maupun yang tidak sempurna.
Konsep Ashâlah al-wujûd