Tradisi belanja menjelang Lebaran, atau yang dikenal sebagai "belanja Lebaran," menjadi fenomena yang sangat populer di banyak negara dengan mayoritas penduduk muslim. Namun, di balik popularitasnya, tradisi ini juga seringkali memicu kontroversi. Beberapa berpendapat bahwa belanja Lebaran perlu dihindari, sementara yang lain berpendapat bahwa tradisi ini harus dilanjutkan. Lalu, apa sebenarnya kontroversi di balik tradisi belanja Lebaran ini?
Salah satu argumen yang muncul dalam kontroversi ini adalah terkait dengan aspek konsumsi berlebihan yang sering terjadi selama tradisi belanja Lebaran. Banyak orang tergoda untuk membeli barang-barang baru, makanan, atau bahkan melakukan perjalanan yang mahal sebagai bagian dari persiapan menyambut Lebaran. Hal ini seringkali menjadi sumber pemborosan, konsumsi berlebihan, dan peningkatan sampah, yang dapat berdampak negatif pada lingkungan dan budaya konsumerisme yang berlebihan. Sebagaimana disampaikan oleh seorang pengamat sosial:
"Belanja Lebaran bisa menjadi sumber konsumsi berlebihan yang tidak berkelanjutan dan merusak lingkungan. Banyak orang terjebak dalam tuntutan budaya konsumerisme yang memaksa mereka untuk membeli barang-barang baru yang sebenarnya tidak diperlukan, hanya untuk mengejar tren atau status sosial."Â
Namun, di sisi lain, ada juga argumen yang berpendapat bahwa tradisi belanja Lebaran harus dilanjutkan. Bagi sebagian orang, belanja Lebaran menjadi saat yang dinantikan untuk menyegarkan pakaian, membeli makanan untuk tamu, atau mempersiapkan hadiah untuk keluarga dan teman. Tradisi ini juga dianggap sebagai cara untuk memeriahkan momen spesial ini dan memupuk hubungan sosial antar sesama. Seorang tokoh masyarakat menyatakan:
"Belanja Lebaran adalah tradisi sosial yang telah berlangsung lama dan menjadi bagian dari identitas budaya kita. Hal ini memberikan semangat kebersamaan, kegembiraan, dan koneksi antara keluarga, teman, dan masyarakat. Tidak ada yang salah dengan membeli barang-barang baru atau merayakan momen spesial ini dengan cara kita sendiri."
Dalam menghadapi kontroversi di balik tradisi belanja Lebaran, penting untuk menjaga keseimbangan antara menghargai tradisi budaya dan mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari konsumsi berlebihan. Menyikapi hal ini, pengamat sosial mengatakan:
"Belanja Lebaran sebaiknya tetap dihargai sebagai bagian dari identitas budaya kita, namun kita juga harus bijaksana dalam menghadapi konsumsi berlebihan dan dampak negatifnya. Mengenali nilai-nilai tradisi Lebaran seharusnya dapat mendorong kita untuk mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab sosial kita, terutama terkait dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial."
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, tradisi belanja Lebaran semakin banyak mendapatkan kritikan dan kontroversi, terutama terkait dengan konsumsi berlebihan dan pemborosan yang berdampak negatif pada lingkungan dan sosial.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2019, diketahui bahwa sampah yang dihasilkan oleh aktivitas belanja Lebaran di Jakarta mencapai 7.000 ton per hari selama bulan Ramadhan. Selain itu, konsumsi listrik dan air juga meningkat drastis selama periode tersebut.
Melihat dampak negatif yang dihasilkan dari tradisi belanja Lebaran, muncul pertanyaan apakah tradisi ini perlu dihindari atau dilanjutkan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa tradisi belanja Lebaran seharusnya dihargai sebagai bagian dari identitas budaya kita, namun di sisi lain kita juga harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari konsumsi berlebihan.
Sebagai solusi, kita dapat memilih untuk mengurangi konsumsi berlebihan dan memilih alternatif lain dalam menyambut hari raya Lebaran, seperti membuat kue-kue sendiri atau memberikan hadiah yang lebih berarti daripada sekadar benda-benda konsumtif.