Ilustrasi - kerbau (kfk.kompas.com/Hendra T)
Setiap hujan seperti ini, aku selalu teringat ibu. Aku paham betul kalimatnya setiap kali meminta agar kandang kerbau terkunci, “Itu untuk nikahan daengmu (kakakmu) suatu hari nanti, Kimbo.” Setelah melontarkan kalimat itu, aku lalu bergerak ke kandang kerbau belakang rumah, memayungi kepala dengan tempayang dan menerangi anak tangga belakang rumah dengan lampu teplok. Sebelum menuju tempat tidur, aku selalu memastikan agar keempat kerbau itu di tempatnya. Aman di dalam kandang itu. Aku tak pernah lengah, sampai hari ini pun. Kalaupun aku mengendus malam-malam di balik gemuruh hujan untuk memastikan kondisi kandang kerbau itu, bukan berarti sore tadi aku lengah. Tidak sama sekali, aku hanya melakukan perintah Ibu.
Setelah balik dari kandang, suara ibu sudah lenyap ditelan lelap. Aku bisa saja menyimpulkan bahwa Ibu telah tertidur, tapi nyatanya tidaklah demikian. Ibu tidur dalam kegelisahan. Tidurnya seperti marinir yang sedang menunggui musuh. Kegelisahan akan kerbau-kerbau itulah penyebabnya. Kerbau adalah harta tertinggi bagi masyarakat kami kala itu. Kerbau akan dijual untuk hajatan akbar, misalnya untuk pernikahan.
Bagi Ibu, tiadalah harta yang paling diandalkannya selain keempat kerbau itu jika suatu hari nanti abangku hendak menikah. Siapa pun tahu bahwa menikah dalam kultur Makassar berarti melebur sebagian harta warisan, diuangkan untuk dijadikan uang panaik (uang permintaan pihak perempuan kepada pihak laki-laki). Sekalipun uang panaik memang disepakati kedua belah pihak, pembicaraan nominalnya sebenarnya cukup alot sampai mufakat. Walaupun demikian, tidak ada pihak laki-laki yang mau menanggung malu tidak menikah hanya gara-gara menahan diri melepas harta yang sebenarnya bisa dipaksakan.
Dari dulu, omongan orang memang kadang menyetir keputusan kita. Tapi Ibu menolak dikatakan ikut-ikutan. Menurutnya, memang tidak ada harta yang bisa diandalkannya selain kerbau-kerbau itu. Tidak ada. Beberapa hari ini, Ruppa, suami dari bibiku (paman) sering kali menawarkan ingin membeli karena pesanan seseorang, tapi Ibu bersikeras menolak. “Untuk apa dijual sekarang, Daeng Ruppa. Keponakanmu belum benar-benar membutuhkannya,” tegas Ibu.
“Tapi harganya sedang bagus, Minallah,” balas Ruppa mencoba menggoyahkan pertahanan Ibu.
Oh, hujan dan kerbau itu. Jika suara hujan lebih deras dari suara derap kaki, di sanalah Ibu lebih khawatir. Ibu khawatir akan paellak (pencuri). Di masa itu, paellak sedang ramai-ramainya. Paellak juga memiliki ilmu kebal dan ilmu meringankan badan, sampai-sampai kerbau curian yang dituntunnya terasa hanya seperti kapas. Mereka sesama orang miskin, namun tega mencuri rakyat miskin pula. Bahkan paellak kadang berpantun ke pemilik ternak yang sedang terjaga sebelum mengambilnya ke kandang. Mereka berbalas pantun dalam gelap dan setelah itu benar-benar terjadi pertumpahan darah.
Pemilik: Wahai Saudara, apa sebenarnya yang kalian inginkan?
Paellak: Saya mau mengambil kerbau-kerbau itu.
Pemilik: Bagaimana mungkin kalian mengambilnya, sedangkan saya memeliharanya bertahun-tahun?
Paellak: Justru itulah, kami mau mengambilnya karena kalian sudah memilikinya bertahun-tahun. Sekarang, giliran kami yang akan memilikinya.
Pemilik: Kalau begitu, masuklah ke sini dan ambillah dengan tanganmu sendiri jika kalian merasa mampu.
Jika diskusinya sudah seperti itu, kedua pihak akan sama-sama menghunus badik. Seolah isyarat kalau genderang perang sudah ditabuh. Seperti bisa ditebak, sang pemilik kadang yang duluan meregang nyawa, lalu akhirnya ternak dibawa lari juga.
Ibu takut hal itu. Takut keduanya. Takut salah satu dari laki-laki dalam keluarganya harus ikut meregang nyawa mempertahankan harta, sesuatu yang kala itu setara dengan martabat. Juga takut akan kehilangan harta berharganya juga. Kekhawatiran Ibu terbaca ketika selesai sholat Subuh, ibu selalu menyorongkan obor ke arah kandang. Akhirnya, aku berharap agar hujan lebih deras saja supaya kerbau-kerbau itu tak sudi mengikuti kemauan paellak.
Esok paginya, aku telat bangun. Rumah ramai sekali. Setiap orang terlihat menenangkan Ibu. Di pekarangan, sekurumunan orang berdesas-desus kalau semalam mereka mendengar suara ini suara itu. Ada pula yang berujar, “Padahal semalam saya sempat ke jamban (di luar rumah).” Aku bisa menyimpulkan kalau kerbau itu telah raib. Ya, raib di bawah Paellak.
Di kejauhan ayahku tampak tenang. Tak ada kata-kata yang bisa diucapkannya. Ketenangannya seolah mewakili seluruh isi hatinya. Dalam kesunyian tatapan matanya, aku bisa membaca kekesalan dan kesedihan berpaut menjadi satu. Namun, kepada siapa harus dialamatkan? Itulah masalahnya.
Malam itu, bukan hanya kami yang jadi korban. Tetanggaku, Singarak ikut raib kedua kerbaunya. Di hari-hari berikutnya, Singarak kadang duduk di anak tangga rumahnya, meratapi kerbaunya, lalu sesekali dia mengigau, melihat tedong bonga (kerbau belang) di kejauhan yang dia kira mungkin itu kerbaunya. Dan begitulah seterusnya hingga tahun-tahun menggerus ingatan bahwa kami semua pernah memiliki kerbau-kerbau itu. Tetapi di suatu masa ada keadaan paling perih ketika Ibu tahu bahwa Ruppa (pamanku) ikut terlibat dalam persekongkolan pencurian kerbau itu.
Di hari-hari berikutnya, setiap hujan turun kala malam hari, Ibu selalu merapatkan badan ke jendela rumah kami yang dari anyaman bambu. Ibu mengintip-intip di balik tirai jendela yang dirembesi tempias hujan. Kadang ketika membalikkan badan, ada titik-titik air di wajahnya. Mungkin saja itu titik air hujan, tapi firasatku cukup kuat bahwa itu bukan air hujan. Setelah menengadah cukup lama, Ibu berbalik dan berujar dengan geram, ”Paellak tidak akan datang, sudah tidak ada yang perlu lagi mereka ambil, kakbulamma!” Dalam bahasa Indonesia, kata kakbulamma kira-kira berarti “brengsek”.
Aku mafhum kekesalan ibu. Saat itu aku belajar dari lampu teplok, jadi wajah ibu terlihat tertutupi sebagian gelap. Aku tidak bisa menangkap roman wajahnya saat geram. Tapi Ibu sempat bertanya, ”Kamu membaca apa, Kimbo?”
“Sebuah kota yang bernama Paris, Ibu?” sahutku.
“Di mana pula itu?”
“Tidak tahu, konon katanya di sananya Mekkah, jauh ke sana lagi.”
Tidak ada balasan Ibu. Akhirnya aku melanjutkan, ”Suatu hari saya akan ke sana.”
Ibu tertawa, sebuah tawa yang hampa. ”Entah dibawa ke mana Paellak kerbau-kerbau itu,” Ibu berujar lagi, seolah mengirim isyarat bahwa andai saja kerbau-kerbau itu masih ada, kita masih pantas mengasah harapan. Ibu akhirnya hanya mampu berujar, ”Matikan lampu kalau sudah selesai membaca.”
***
24 tahun kemudian.
Hujan. Aku bersama Roger, temanku dari Fiji keluar kelas dan menaiki Tram No. 11 ke jalan Reinkenstraat. Pelayan di Travel XL itu mirip persis Barbra Streissand, pelantun lagu ”Woman in Love” itu. Kota Den Haag hari itu bersuhu -6, suhu yang tidak perlu diperdebatkan lagi di pertengahan bulan Januari.
“Madam, 6 tickets to Paris, return,” kataku buru-buru dengan badan menggigil.
“Please take a set. Mmmm, would you like to drink something, coffee or tea may be?”
“Oh... its very kind of you Madam, tea please.”
“And you, Sir?” tanyanya pada Roger.
“Coffee.”
Hari itu kami mendapatkan tiket ke Paris. Jalanan bergerimis di Rotterdam Centraal ketika bis Flixbus tiba. Sepanjang perjalanan hujan ritmik tak henti-hentinya jatuh. Aku selalu mengamati hujan, memandangnya tak henti ketika bis melaju melalui Roosendal, Antwerpen lalu menuju Rheim. Lalu aku mulai mengingat-ingat kejadian 24 tahun silam. Ibuku, hujan dan kerbau. Aku mengingat setiap adegannya hingga terlelap, sampai akhirnya sang sopir mengumumkan lewat pengeras suara, ”Good morning, Ladys and Gentlement, shortly we will arrive at Porte Maillot, Paris. Thank you.” Lalu sopir memutar lagu “Ave Maria” dalam warna seriosa di pagi buta di musim dingin, suatu penegasan bahwa bis ini sudah berada di Paris.
Ah, ibu, tanpa kerbau-kerbau itu pun, anakmu juga bisa menginjak Paris, batinku.
Paris, 16 Januari 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI