Tidak ada balasan Ibu. Akhirnya aku melanjutkan, ”Suatu hari saya akan ke sana.”
Ibu tertawa, sebuah tawa yang hampa. ”Entah dibawa ke mana Paellak kerbau-kerbau itu,” Ibu berujar lagi, seolah mengirim isyarat bahwa andai saja kerbau-kerbau itu masih ada, kita masih pantas mengasah harapan. Ibu akhirnya hanya mampu berujar, ”Matikan lampu kalau sudah selesai membaca.”
***
24 tahun kemudian.
Hujan. Aku bersama Roger, temanku dari Fiji keluar kelas dan menaiki Tram No. 11 ke jalan Reinkenstraat. Pelayan di Travel XL itu mirip persis Barbra Streissand, pelantun lagu ”Woman in Love” itu. Kota Den Haag hari itu bersuhu -6, suhu yang tidak perlu diperdebatkan lagi di pertengahan bulan Januari.
“Madam, 6 tickets to Paris, return,” kataku buru-buru dengan badan menggigil.
“Please take a set. Mmmm, would you like to drink something, coffee or tea may be?”
“Oh... its very kind of you Madam, tea please.”
“And you, Sir?” tanyanya pada Roger.
“Coffee.”
Hari itu kami mendapatkan tiket ke Paris. Jalanan bergerimis di Rotterdam Centraal ketika bis Flixbus tiba. Sepanjang perjalanan hujan ritmik tak henti-hentinya jatuh. Aku selalu mengamati hujan, memandangnya tak henti ketika bis melaju melalui Roosendal, Antwerpen lalu menuju Rheim. Lalu aku mulai mengingat-ingat kejadian 24 tahun silam. Ibuku, hujan dan kerbau. Aku mengingat setiap adegannya hingga terlelap, sampai akhirnya sang sopir mengumumkan lewat pengeras suara, ”Good morning, Ladys and Gentlement, shortly we will arrive at Porte Maillot, Paris. Thank you.” Lalu sopir memutar lagu “Ave Maria” dalam warna seriosa di pagi buta di musim dingin, suatu penegasan bahwa bis ini sudah berada di Paris.