Setelah tersiar kabar 5 pejabat FIFA ditangkap FBI, Imam Nahrawi melontarkan wacana untuk membuat FIFA tandingan. Karena FIFA yang ada saat ini sudah menjadi sarang korupsi. Jadi, perlu dibuat FIFA tandingan. Begitu kata Imam Nahrowi. Mungkin Imam Nahrowi beranggapan bahwa organisasi bernama FIFA itu tak ubahnya seperti Golkar ataupun PPP, jadi bisa dibuat tandingannya. Konon ide ini diilhami dari tindakan Bung Karno tempo dulu, yang berani kleluar dari PBB, kemudian membentuk Nefo dan Ganefo.
Nah untuk mewujudkan mimpinya itu, memporapun akan melobi beberapa negara. Apa yang akan terjadi ketika dia melobi beberapa negara tersebut? Mereka pun akan mempertanyakan, siapa dia? Pemain sepak bola dari negara mana? Sudah membawa negaranya juara apa? Setelah mereka tahu bahwa dia cuma menpora dari sebuah negara dengan ranking 159 FIFA, mereka pun akan memandang sebelah mata. Mungkin sedikit mengernyitkan dahi seperti Akbar Faisal. Makanya, wacana untuk membentuk FIFA tandingan itu cuma igauan menpora dari tidur panjangnya.
Begitu terbangun, jebret! Didapatinya surat dari FIFA. Surat itupun dibacanya dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata surat tersebut menyatakan bahwa Indonesia dalam hal ini PSSI baik itu timnas ataupun klub dilarang ikut kompetisi sepak bola yang diselenggarang oleh AFF, AFC maupun FIFA sejak tanggal 30 Mei 2015. Itu artinya mulai tanggal 30 Mei 2015 Indonesia terkena sanksi FIFA. Imam Narawi pun bingung dan kalang kabut. Impiannya untuk membentuk FIFA tandingan, luluh lantak. Persis Kota Banda Aceh yang dihantam Tsunami.
Dibacanya sekali lagi surat tersebut dengan saksama, kali ini tak pakai sesingkat-singkatnya. Ternyata... Sekali lagi jebret! Didapatlah kejanggalan di surat tersebut. Apa kejanggalannya? Pertama, grammer yang dipakai dalam surat tersebut tidak seperti biasanya. Alias beda. Khususnya untuk timnas Sea Games. Kenapa pakai past continous tense? Padahal Sea Games berlangsung tanggal 2 Juni 2015 sedangkan surat FIFA keluar tanggal 30 Mei 2015. Mungkin ini sama dengan Ibu Dewi yang menemukan beras plastik di Bekasi. Berasnya beda dengan beras yang biasa dia pakai untuk masak bubur. Berarti itu beras palsu. Sama seperti dengan surat dari FIFA tersebut. PALSU! Kata Imam Nahrawi.
Kejanggalan kedua, kenapa surat tersebut tidak langsung ke mejanya tetapi lewat PSSI? Nah lo. Baru menjabat menpora 6 bulan saja, Imam Nahrawi sudah berlagak seperti Kaisar Otthoman. Raja diraja. Semua surat harus lewat meja dia. Pertanyaannya, sejak kapan menpora jadi anggota FIFA? Dan yang lebih penting lagi, yang terkena sanksi FIFA itu PSSI bukan menpora. Aneh! Dan yang lebih aneh lagi, media penddukung Jokowi dalam hal ini Kompas.com menulis bahwa pembekuan PSSI yang berujung pada sanksi FIFA ini termasuk salah satu kemenangan 4-0 yang diraih oleh Jokowi. Entah menang melawan siapa. Cuma yang ingin saya sampaikan, apa arti kemenangan kalau banyak menyengsarakan rakyat. Pepatah Jawa mengatakan menang tanpa ngasorake. Menang tanpa mengalahkan. Menang tanpa mempermalukan. Menang tanpa menyengsarakan.
Akhirnya, jangan sampai sanksi FIFA ini menambah panjang daftar pemain sepak bola kita yang digugat cerai oleh istrinya. Seperti yang dialami oleh Markus Horison. Dan jangan sampai pula, mobil-mobil yang dipakai para pemain sepak bola kita tiba-tiba ditarik oleh istrinya. Eh salah. Ditarik oleh dealer mobil maksud saya. Dan kepada insan bola, baik itu pemain maupun offisial saya cuma bisa menyampaikan, seberat-berat mata memandang lebih berat bahu memikul. Silahkan artikan sendiri.
Dan sebagai penutup, setiap kali saya menulis di Kompasiana, hati saya bergetar....
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H