[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ganda campuran Indonesia Tontowi Ahmad (depan)/Liliyana Natsir melambaikan raket kepada penonton di National Indoor Arena, Birmingham, setelah memenangi laga melawan ganda Singapura, Danny Bawa Chirsnanta/Yu Yan Vanessa Neo, pada perempat final All England, Jumat (7/3/2014). Tontowi/Liliyana menang 21-12, 17-21, 21-12 - Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Hari-hari ini kita masih merasakan kegembiraan atas diraihnya dua gelar juara dari ajang bulutangkis yang cukup bergengsi, yaitu All England. Ya, dua gelar itu dipersembahkan oleh pasangan ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan dan satu lagi dari ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliana Natsir. Bagi Tontowi Ahmad dan Liliana Natsir, ini adalah gelar yang ketiga, setelah mereka meraihnya di tahun 2012 dan 2013. Cuma yang membuat miris adalah, kenapa turnamen bulutangkis yang cukup bergengsi ini tidak disiarkan oleh televisi nasional? Dari 12 televisi nasional tak ada satu pun yang serius menyiarkan bulutangkis. Semuanya ramai-ramai menyiarkan sepak bola. Mungkin ini salah satu sebab kenapa dolar tak mau kurang dari 10.000. Dulu, ketika baru muncul, RCTI rajin sekali menyiarkan acara bulutangkis. Mulai Sea Games, Asian Games sampai Olimpiade. Kejuaraan dunia bulutangkis pun selalu disiarkannya. Mungkin setelah ganti pemilik, orientasinya pun berubah. Yang lebih konyol lagi MNC TV, stasiun televisi yang sok ndangdut ini mencoba menyiarkan secara langsung perebutan Piala Thomas dan Uber tahun 2012. Setelah tim Indonesia gagal masuk semifinal, MNC TV pun langsung menghentikan siaran langsung tersebut. Kami sebagai penggemar bulutangkis dibuat bertanya-tanya siapa juaranya. Trans TV termasuk stasiun televisi yang rajin menyiarkan acara bulutangkis. Tapi itu dulu, waktu Chaerul Tanjung masih menjabat ketua PBSI. Setelah tidak menjabat lagi, tahu sendirilah. Tiap hari cuma menyiarkan joget yang tak ada mutu sama sekali. Dulu TVRI juga selalu menyiarkan perebutan Piala Thomas dan Uber. All England juga. Tapi itu dulu. Sekarang malah ikut-ikutan menyiarkan sepak bola (Bundesliga). Padahal dari siaran sepak bola yang menghiasi televisi kita, tak ada perubahan sama sekali di dunia persepakbolaan Indonesia. Kita tetap berada di rangking 170 dunia. Sangat jauh perbedaannya dengan bulutangkis kita, di mana kita berada di rangking satu dunia. Pinjam istilah Taufik Hidayat, "Sepak bola adalah olahraga rakyat tetapi bulutangkis adalah olahraga prestasi." Lewat bulutngkislah Indonesia semakin dikenal oleh dunia. Dan lewat bulutangkislah bangsa Indonesia lebih dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Bapak Sudirman, disejajarkan dengan Sir Goerge Alan Thomas dan Betty Uber. Di mana pialanya selalu jadi rebutan negara-negara bulutangkis dunia. Dampak dari terlalu masifnya televisi kita menyiarkan sepak bola adalah anak-anak kita lebih kenal Ronaldo, Messi, Neymar dll. Mereka tidak tahu lagi Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Rudi Hartono bahkan mungkin Taufik Hidayat pun mereka tak tahu. Dan dampak selanjutnya adalah PBSI kesulitan mencari bibit unggul sebagai penerus Taufik Hidayat. Terbukti, sudah 10 tahun Piala Thomas tak mau kembali ke bumi pertiwi. Hal ini disebabkan kita tak punya pemain tunggal putra yang mumpuni. Boleh dibilang tela terjadi loss generation atau generasi yang h ilang di sektor tunggal putra. Sekian. Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H