Pahit manisnya hidup di perantauan sudah aku rasakan. Seperti rasa kangen yang tiba-tiba muncul tanpa komando. Inilah yang pernah aku rasakan sekitar 3 tahun yang lalu saat masih menjadi mahasiswa di salah satu politeknik kesehatan di Jakarta.
Sore itu, seperti biasa, selesai praktikum aku segera meninggalkan kampus. Seperti biasa setiap sorenya aku selalu bermain-main bersama macet jalanan Jakarta yang mungkin akan jadi alasan untuk terlambat. Aku segera menunggu di Halte yang luar biasa banyaknya manusia-manusia yang bergerak menuju rumah masing-masing untuk sejenak beristirahat dan bersiap-siap untuk kepenatan esok harinya.
Kulihat banyak orang yang hilir mudik menunggu bis kota dan sebagian lagi duduk mengobrol bersama teman-teman. Sementara aku hanya melihat keramaian itu dan sesekali mengomentari perbuatan mereka yang sedikit nyeleneh menurutku dalam hati.
Setelah sekitar 1 jam menunggu, bis kota yang biasa aku naiki belum juga kunjung datang. Akhirnya aku putuskan untuk membeli minuman karena tenggorokanku terasa kering. Belum sempat aku membeli minuman, ternyata bis sudah datang dan aku buru-buru mengejar bis bersama mereka yang juga ingin cepat pulang ke rumah masing-masing.
Beruntung aku akhirnya mendapatkan tempat duduk. Kulihat banyak sekali yang tidak kebagian tempat duduk namun tetap memaksakan untuk naik. Itulah Jakarta. Ku lihat disampingku ada ibu-ibu, kira-kira berumur 40 tahun sedang berdiri, mencoba mempertahankan tubuhnya agar tidak jatuh. Namun inilah pengaruhn negative kota Jakarta, tidak ada sama sekali keinginanku untuk mempersilahkan ibu tersebut untuk duduk di kursiku, Mungkin karena letih yang sangat kurasakan saat itu.
Aku segera larut dengan lamunanku sendiri, kulihat keluar jendela bis,disana kilauan lampu warna-warni laksana pelangi dimalam hari, begitu megah, begitu mewah dan berkelas. Ditemani oleh suara pengamen yang sangat membosankan atau juga hanya suara pengemis yang kelihatannya tidak pantas jika dilihat dari otot-otot yang ada di tubuhnya. Dan selalu saja setiap mereka selesai bernyanyi dan berjalan menuju kearah penumpang satu-satu dengan menyodorkan kantong plastik dan saat menuju kearahku selalu saja ku gelengkan kepala dan mengangkat kedua tangan “Maaf!!!”. Klasik memang
Tidak lama kemudian naiklah seorang pengamen, dengan padanan kemeja dengan kancing terbuka dan sebuah kaos putih polos didalamnya serta sebuah jean yang kelihatan sudah berumur. Rambut rapi dan kelihatan bersih. Tumben pengamen ini rapi pikirku. Langsung saja ia menyanyikan beberapa lagu dan suaranya luar biasa merdu dan sangat menenangkan jiwa yang penat dengan segala runitinas.
Untuk teman-teman disini, jangan sampai merasakan apa yang aku rasakan saat ini, rasa penyesalan yang sangat dalam karena kehilangan orang yang sangat aku cintai, malaikatku, ibuku tercinta. Selama ini aku tidak pernah mengucapkan betapa aku mencintainya, betapa menyayanginya. Untuk itu jika masih punya kesempatan, ucapkanlah betapa kau mencintai dan menyanyaginya, dan peluklah dia dengan hangat karena kau tidak pernah tahu sampai kapan kau bisa melakukannya. Pengamen itu langsung menyanyikan lagu “Bunda” Miliknya Melly Goeslaw.
Tak tahan rasanya, air mata ini langsung saja jatuh tanpa bisa aku tahan. Ku ingat wajah Ibuku, senyumnya, dan nasehat-nasehatnya. Dan saat detik itu juga aku langsung menelpon Ibuku dan ku ucapkan betapa aku mencintainya melebihi siapapun.
Dan Herannya Pengamen terssbut tidak menyodorkan kantong plastik seperti ynag dilakukan oleh pengamen-pengamen lain.
Siapapun Dirimu, Terima kasih telah mengingatkan bahwa sesibuk dan sejauh apapun jarak kita dengan kedua orang kita sempatkanlah berkomunikasi dengan mereka walupun hanya menanyakan khabar. Jangan sampai kesibukan kita membuat kita lupa akan orang yang begitu tulus mencintai kita melebihi siapun di dunia ini. Sekali lagi Terima kasih “Pengamen Penuh Ispirasi”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H