A. Pembahasan
Sebuah aksioma bahwa pendidikan adalah sumber yang menentukan negara tersebut maju atau tidak, apakah itu mengisyaratkan kalau pendidikan di Indonesia masih belum baik? Tentu!, kita tahu banyak penulis yang merilis buku untuk mengkritik habis-habisan sistem pendidikan di Indonesia, seperti; Sekolah Biasa Saja karya Toto Raharjo; Sekolah Itu Candu karya Roem Topasimasang; Pendidikan Yang Memiskinkan karya Darmaningtyas; Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Eko Prasetyo; dan masih banyak lagi. Bahkan tokoh publik layaknya Deddy Corbuzier dan Pandji Pragiwaksono pun dalam beberapa kesempatan berbicara di sebuah acara juga blak-blakan mengkritik sistem pendidikan di Indonesia. Lalu mengapa hal itu tidak merubah sistem pendidikan di Indonesia? Menilik tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003 yang mengatakan "berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Terlihat tidak ada yang salah dengan tujuan pendidikan kita, namun coba perhatikan diksi "mandiri dan kreatif", bukankah hal itu dapat didorong dengan kebebasan berekspresi?, sedangkan pelaksanaan pendidikan kita masih satu arah. Wajib belajar 12 tahun dengan output yang kurang dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Mengenai pemerataan, saya kira pembaca juga beranggapan bahwa kualitas pendidikan di pulau Jawa itu lebih baik dari pada pulau lain di Indonesia, hal itu sudah cukup untuk menjawab bagaimana pemerataan pendidikan di Indonesia. Sekarang kita perhatikan bagaimana negara maju menjalankan sistem pendidikannya. Amerika, disana sekolah diberikan banyak ruang untuk merevisi dan merubah kurikulum berdasarkan eksistensi zaman serta kebutuhan siswanya yang unik, terdapat sistem moving class yang membuat  pembagian kelas berdasarkan mata pelajaran. Kalau disini lulus SMA medapat ijazah, disana mendapat gelar diploma. Jerman, setelah reunifikasi antara Jerman barat dan Jerman Timur, yang pada saat itu Jerman Timur sedang terjadi krisis, dengan fokus dan aksi gila-gilaan anggaran pemerintah Jerman disalurkan lebih banyak untuk wilayah bekas Jerman Timur, terutama untuk bidang pendidikannya. Dan sekarang kita melihat Jerman sebagai negara maju, negara impian orang untuk menuntut ilmu. Akan salah jika bertanya "dimana Perguruan Tinggi terbaik di Jerman?" karena semua berkualitas sama, dari Berlin hingga pelosok negeri kota Konstan, tidak diragukan lagi kapasitas para lulusannya. Kemudian Jepang yang terkenal dengan ritual harakiri, ternyata tidak luput dari sistem pendidikan dimasa dasar, murid-murid Jepang baru mengenal materi ketika menginjak umur 10 tahun, sebelum masa itu dipergunakan untuk menanamkan etika yang baik, dengan mengajak mereka berdiskusi bersama. Benar, itu semua hanya masalah teknis saja, tetapi bukan berarti kita mengabaikan hal tersebut.
B. Analisis
Dari pembahasan sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa masalah pendidikan yang menghambat negara ini untuk maju, yaitu; tidak meratanya akses, fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan; wajib belajar 12 tahun yang terkesan sia-sia karena hanya mendapat ijazah dengan hasil rekapan 10 sampai 14 mata pelajaran tanpa keahlian khusus dan gelar; dedikasi tenaga pendidik yang terhambat oleh model pendidikan satu arah; dan masih banyak masyarakat akar rumput the grassroot, termasuk di kota-kota besar yang tidak berpendidikan. Sekarang hubungan sebab-akibat berperan, bahwa dengan berbagai polemik di bidang pendidikan, berpotensi menyebabkan klaster masyarakat yang tidak menguasai iptek, berpenghasilan pas-pasan, pengangguran, nikah muda, hingga yang paling dikhawatirkan adalah berbuat kriminal. Semua itu sangat tidak masuk ke dalam  kriteria negara maju.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memberi opsi untuk sistem pendidikan di Indonesia demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang akan membawa Indonesia sebagai negara maju. Perpaduan antara sistem pendidikan Jepang, Amerika, dan Jerman dengan merefleksikan kultur Indonesia, seperti; penanaman etika dan moral sejak dini; sistem moving class ditingkat menengah yang mengelompokkan siswa berdasarkan mata pelajaran yang mereka pilih; pemberian ruang kepada sekolah untuk merevisi dan merubah kurikulum berdasarkan eksistensi zaman serta kebutuhan siswanya yang unik dengan standar nasional; dan pemerataan pendidikan di seluruh tanah air. Dengan perubahan seperti itu, terutama pemerataan pendidikan, tidak hanya fasilitas, tapi juga kualitas, maka otomatis akan tercipta banyak kaum intelektual yang berintegritas untuk memperbaiki berbagai sektor di Indonesia, sehingga negara kita dapat benar-benar masuk kriteria sebagai negara maju, bukan hanya klaim sepihak dari Trump, presiden  Amerika saat itu.
Penutup
Tulisan ini secara gamblang menyatakan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia, dengan melihat dan mempelajari bagaimana sistem pendidikan di negara-negara maju, diharapkan pemerintah Indonesia segera menggagas ulang dalam penentuan rencana strategis pendidikan Indonesia. Karena pendidikan sebagai sumber yang menentukan negara tersebut maju atau tidak, adalah aksioma tanpa antitesis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H