Balik lagi ke pertanyaan yang ada di pembukaan tadi, mengapa desa selalu ada di posisi kurang maju dari pada kota?
Poin pertama sudah jelas, dampak urbanisasi telah membuat desa kekurangan, atau bahkan kehilangan penduduk usia produktif, juga penduduk yang mungkin memiliki potensi dan kualitas yang baik. Maka desa hanya digarap oleh para generasi tua yang bisa dibilang sudah tidak produktif lagi dengan segala keterbasannya.
Berikutnya tentang para orang desa yang telah tinggal untuk mengadu nasib di kota, kebanyakan dari mereka hidup lebih enak, dan berkecukupan dari pada keluarganya yang ada di desa . Pada umumnya mereka ini ketika sudah tua, pensiun, akan pulang untuk menikmati hari tua di kampung halamannya, desa.
Pola seperti itu akan terus berlanjut, yang secara sosiologis akan sangat merugikan desa. Hanya kebagian sisi buruknya, menanggung beban kembalinya orang-orang yang pulang dari kota diusia yang sudah tidak produktif lagi. malah bisa jadi merepotkan.
Wajar saja kalau desa sangat lambat untuk maju. Pemuda harapan desa kurang memperhatikan kampung halamannya sendiri, lebih memikirkan diri sendiri, untuk mengadu nasib di kota. Dan tanpa rasa bersalah, akan kembali ke desa dengan kondisi yang sudah tidak produktif, tidak dapat berbuat banyak lagi untuk desanya, cenderung malah merepotkan desa.
KESIMPULAN
Kalau istilah jawa "bali deso bangun deso", atau kembali ke desa untuk membangun desa. Sikap seperti itu yang kurang dimiliki oleh para pemuda desa yang sudah pernah menuntut ilmu atau merantau di kota. Sinergi antara desa kota dalam hal ekonomi memang cenderung berdampak baik, namun untuk kondisi sosial, masih sangat kurang. Desa masih selalu dinilai kurang maju dari pada kota. Padahal kota bisa maju juga karena kontribusi dari para penduduk desa yang mengadu nasib disana, yang melupakan naib desanya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H