Hal tersebut tentu menjadikan mereka kurang maksimal dalam penjalankan peran sosial, dan dengan segala kekurangannya menjadikan hidup mereka kurang bermartabat.
Pada judul saya tertuliskan frasa "sindiran halus", mungkin anda bertanya, kenapa tidak  memakai diksi "satire" saja? Yap, hal itu karena satire adalah gaya bahasa untuk meyindir secara halus, namun pada artikel ini sindiran tersebut bukan dari gaya bahasa atau ucapan, melainkan dari aksi dan perbuatan.
Sindiran halus mengenai peran pemerintah yang belum berhasil menciptakan kesejahteraan umum dan sosial ini telah terjadi puluhan tahun, bahkan sangat gamblang ia menampakkan diri. Yaitu berbagai aksi kemanusiaan, baik dari lembaga, yayasan, organisasi, komunitas, dan semacamnya.
Katakanlah seperti Dompet Dhuafa, lembaga amil zakat nasional yang bertujuan mengentaskan kemiskinan, Â Kitabisa.com, situs donasi dan penggalangan dana untuk program sosial, Yayasan Peduli Amal Peduli Kasih (YPP) yang bergerak dibidang sosial dan kemanusiaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan semacamnya.
Saya yakin semua organinasai, lembaga, dan yayasan yang seperti yang disebutkan diatas terbangun murni untuk bergotong-royong membantu sesama, tanpa ada niat untuk mencari keuntungan, apalagi menyidir pihak lain, termasuk negara atau pemerintah.
Dan saya akui bahwa gerakan tersebut sangat bagus untuk menumbuhkan sikap humanisme diantara rakyat Indonesia, namun semestinya itu cukup untuk menyindir secara halus kepada negara, bahwa apa yang diamanatkan oleh UUD 1945, negara belum dapat merealisasikannya, sehingga kesadaran masyarakat baik individu ataupun kelompok inilah yang mencoba ikut serta untuk mencapai kesejahteraan umum dan sosial tadi.
Kemudian yang kedua tentang pendidikan, singkat saja kalau yang ini. Tentu anda tahu lembaga bimbingan belajar Ganesha Operation (GO), Primagama, Newtron, dan semacamnya bukan? Kira-kira apa yang melandasi para orang tua dari para murid untuk mendaftarkan anaknya mengikuti bimbel-bimbel yang bertebaran di daerah mereka?
Sudah tentu alasan yang pertama supaya anaknya pintar, bisa berprestasi, dan harapan positif lain. Seperti ulasan poin pertama tadi, saya yakin para lembaga bimbingan belajar tadi berdiri untuk bisnis, mencari keuntungan, tentu mereka menukar hal yang sebanding, yaitu ilmu yang bermanfaat, berbagai tips cepat dan rahasia dalam ilmu akademik yang tidak diajarkan oleh para guru di sekolah.
Namun kembali lagi seperti pada judul, hal tersebut selayaknya cukup menyindir negara karena dalam tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan regulasi yang berjenjang wajib belajar 12 tahun (SD, SMP, dan SMA) belum bisa dikatakan berhasil, sehingga para orang tua murid memilih untuk mendongkrak kecerdasan anaknya lewat bimbingan belajar.
Belum lagi banyaknya sekolah alternatif yang didirikan oleh individu atau kelompok peduli pendidikan, seperti Sekolah Anak Alam (SALAM) di Jogja, banyak yang menuntut ilmu disana, ada yang masih sekolah, dan yang sudah tidak sekolah (putus sekolah), mereka belajar banyak hal sesuai apa yang mereka suka. Bahkan mereka diajarkan apa yang tidak diajarkan disekolah, terlebih di SALAM tidak dipungut biaya, alias gratis. Anda dapat mengecek di google, atau datang langsung ke lokasinya.
Sekolah alternatif di Indonesia ini sangat banyak, tidak jarang mereka menampung para murid yang putus sekolah karena terkendala ekonomi. Lagi-lagi hal tersebut seharusnya menjadi sindiran halus bagi negara yang belum dapat merealisasikan pendidikan gratis sesuai UU No 20 Tahun 2003.