Banyak yang bilang mahasiswa adalah agen perubahan, pelopor gerakan dari seluruh elemen masyarakat, tetapi bagi saya—yang juga merupakan seorang mahasiswa—tugas mahasiswa hanyalah satu, yakni membaur dengan seluruh elemen masyarakat sembari menyebarkan ide dan gagasan nya untuk kepentingan masyarakat umum tanpa membawa kelompok atau golongan masing-masing dalam kampus yang dapat mengkotak-kotakkan sebuah gerakan.
Jika kita melihat kenyataannya sekarang di lapangan, mahasiswa seringkali meneriakkan jargon-jargon tentang perjuangan rakyat, tetapi di sisi lain, mereka justru menyerang alias mengucilkan para massa aksi yang tak seragam dalam konteks baik almameter, maupun ide-ide dan gagasan. Kenyataan pahit ini harus kita cermati, dan maknai, sebagai arti bahwa ada yang salah dalam sebuah gerakan untuk meruntuhkan kekuasaan rezim diktator.
Dan yang harus kita ketahui, bahwa hal ini dapat memberi keuntungan bagi musuh di medan pertempuran jalanan—terutama bagi rezim, dan alat-alatnya seperti polisi. Maka sudah seharusnya, sebuah gerakan yang dilahirkan dari suatu konsolidasi seluruh elemen masyarakat haruslah menyatukan sebuah perbedaan, dan menghilangkan sikap sok intelektual dan merasa paling benar yang cenderung akan memudahkan pihak musuh untuk memecah belah persatuan seluruh elemen massa aksi ketika melakukan protes.
Lepaskan almametermu, jadilah hitam yang merangkum semua warna yang diabaikan, seperti dalam bunyi lagu deklarasi untuk yang dihempaskan. Bahwasannya untuk menjadi seragam, tak perlulah kita memojokkan siapapun yang bersebrangan atau berbeda dengan kita. Jadilah satu dalam sebuah perbedaan, seperti makna bhineka tunggal ika. Kita semua memiliki hak untuk bersuara, dan melempar protes. Kita semua sama, rakyat Indonesia. Kita semua sama, ketika kita semua dapat merasai, bahwa ditindas itu menyakitkan, tidak adil, dan kita harus menentangnya.
Jika perbedaan sesederhana ini menjadi masalah yang terus menerus membuat cacat suatu gerakan, maka kita tidak akan pernah menang dalam sebuah pertempuran yang diperjuangkan.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk menyalahkan mahasiswa. Tapi, ayolah, adakah waktu untuk saling melempar kesalahan? Jadikan judul di atas sebagai sebuah bahan refleksi diri. Kita yang mahasiswa, tidak harus mendaku sebagai mahasiswa di medan pertempuran agar tampak seperti superhero dengan mewajibkan dresscode beralmameter, ataupun keseragaman yang dipaksakan, ataupun ide-ide dan gagasan yang wajib diselaraskan, tapi kita yang mahasiswa, haruslah berani untuk menyatu dalam segala jenis perbedaan, dan menyadari bahwa kita adalah perbedaan yang sama dalam konteks perjuangan melawan penindasan penguasa.
Kita yang mahasiswa seharusnya sadar, bahwasannya tidak semua rakyat, buruh, dan lain-lainnya mendapatkan akses pendidikan yang cukup. Kita yang mahasiswa, yang memiliki cukup banyak amunisi yang terdiri atas ide-ide, gagasan-gagasan, dan metode pergerakan harus dapat menuntun rakyat dan seluruh elemen masyarakat untuk bergerak—bukan berarti menjadi pelopor—tetapi ialah menuntun sembari berdiskusi atas ide-ide, gagasan-gagasan dan metode pergerakan dengan seluruh elemen masyarakat yang ada. Sebab seluruh elemen masyarakat pastinya mempunyai ide-ide dan gagasan-gagasan—meskipun tidak semuanya mempunyai, maka hal yang paling benar adalah merangkum, mendiskusikan, suatu perbedaan itu bersama-sama dan bergerak untuk kehidupan yang lebih baik dalam sebuah gerakan yang lahir dari perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H