Mohon tunggu...
Abdullah Alamudi
Abdullah Alamudi Mohon Tunggu... lainnya -

Dosen senior di Lembaga Pers Dr. Soetomo; Anggota Dewan Penyantun, LBH Pers; Direktur Lembaga Pengembangan Media Lokal; Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat, Dewan Pers (2007-Feb, 2010); Aktivis Kemerdekaan Pers dan Hak Masyarakat Menyatakan Pendapat dan Memperoleh Informasi. Mantan: Koordinator Reporter, The Jakarta Post; Koresponden Majalah TEMPO di Inggris; Produser, Radio BBC Seksi Indonesia di London, Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia; Redaktur Pelaksana Majalah Warta Ekonomi; Asisten Koresponden Kantor Berita AFP di Jakarta, Staf Redaksi Harian Pedoman; Berkali-kali diminta memberikan keterangan/saksi ahli untuk wartawan/media di kepolisian,di pangadilan negeri dan PTUN. Berkeluarga, tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kelaparan di NTT 2008 Berulang: Apa Kerja Wartawan di sana?

16 September 2011   19:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:54 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Berikut, tulisan saya di Kompas, Juli 2008. Bandingan dengan keadaan di NTT sekarang

Busung Lapar, Dana ‘Pembinaan Wartawan’ & Tanggung Jawab Pers

Oleh Abdullah Alamudi[1]

“Bikin apa Anda di daerah, kok sampai ada busung lapar?” (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan para gubernur seluruh Indonesia seperti dikutip Andi Mallarangeng, Jurubicara Presiden (Kompas, 11 Juni).

Lebih dari tiga bulan setelah Kompas pertama kali memberitakan kasus busung lapar di NTT/NTB bulan Maret, barulah media lain ikut menyiarkan penderitaan masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Barat itu. Pembaca yang kritis lantas bertanya, kenapa sampai tiga bulan baru koran, radio dan televisi menyiarkan berita itu? Apa kerja wartawan koran-koran daerah, koresponden media Jakarta di daerah?

Kalau ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu keluar dari mulut pemimpin redaksi, atau koordinator reporter di Jakarta kepada korespondennya di daerah, bunyinya mungkin menjadi: “Ngapain aje lu, di sana, duduk-duduk di kantor kabupaten, ya! Kongkow-kongkow di kantor walikota, ya! Liat tuh Kompas, udahtiga bulan laporin busung lapar! Makan gaji buta lu!”

Pimpinan media di daerah tak akan berbicara sekasar itu kepada reporter mereka. Karena nyawa koran daerah banyak sekali -- untuk tidak mengatakan semuanya -- bergantung pada “uluran tangan” pemerintah daerah/pemerintah kota. “Uluran tangan” itu bisa berupa tunjangan bulanan untuk pribadi wartawan yang teraftar di pemda/pemkot bersangkutan, makan siang, ongkos transport, dan “amplop” setelah meliput kegiatan pejabat tinggi daerah. Tindakan-tindakan yang jelas merupakan pelanggaran kode etik jurnalis.

Ada media daerah yang melakukan kontrak dengan bupati sebanyak dua halaman tiap terbit. Media bersangkutan harus mengisinya dengan berita-berita tentang kemajuan dan, tentunya, peran aktif pejabat bersangkutan membangun daerahnya. Ada dearah yang memiliki koran sendiri, dengan kepala biro umum dan humas kabupaten menjadi pemimpin redaksinya. Mungkin modalnya dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah pula.

Dalam posisi pers seperti itu, tak mungkinlah publik bisa berharap wartawan dapat memenuhi tanggung jawab sosialnya: mencari, mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menyiarkan berita secara akurat dan berimbang. Apa lagi, “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,” seperti diperintahkan UU Pers.

Lebih tak mungkin lagi mengharapkan pers memenuhi hak publik untuk tahu jika pemilik modal, atau pemimpin redaksinya, mempunyai agenda politik/ ekonomi dengan pejabat bersangkutan. Bukankah banyak pemilik media juga melakukan investasi di bidang lain dan berkepentingan mempertahankan “hubungan baik” denga pejabat di pusat dan daerah, demi memenangkan proyek?

RRI dan TVRI di daerah, dua lembaga penyiaran publik yang paling luas jangkauannya di negeri ini, tak banyak melakukan fungsinya. Tagihan listrik dan pasok diesel mereka sering dibiayai oleh pemda. Beberapa kali mereka terpaksa mengurangi jam siaran/jam tayang mereka.

Begitu eratnya “hubungan baik” pejabat daerah dan (organisasi) wartawan setempat sehingga hampir di setiap APBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada pos “Pembinaan Wartawan” atau semacamnya.

Penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menemukan bahwa dana-dana pos “Pembinaan Wartawan” itu digunakan untuk membantu membiayai perayaan ulang tahun organisasi wartawan, sewa gedung/kantor cabang organisasi wartawan,atau untuk melakukan seminar dan pelatihan. Ada yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah.

Jadi, wartawan yang telah menerima “uluran tangan” pejabat daerah, lalu mengetahui bahwa di wilayahnya terjadi busung lapar, terjangkit wabah polio, tak mungkinlah dia diharapkan menyiarkan beritanya secara akurat dan imparsial. Anjing pun tak akan menggigit tangan yang memberinya makan.

Maka jangan heran kalau ada wartawan di pusat atau pun daerah yang menjadikan kartu persnya lebih sebagai alat untuk mencari makan. Dia sudah kehilangan jatidirinya; meninggalkan ciri-ciri seorang wartawan yang rasa ingin tahunya besar; bertanggung jawab kepada masyarakat; memiliki integritas tinggi; cermat mencari kebenaran sejauh mungkin dari tangan pertama; dapat diandalkan, melihat setiap masalah dengan kepala dan matahati terbuka. Dia tidak lagi punya keterlibatan pada masalah masyarakat; objektivitasnya hilang; dedikasinya pupus. Matanya tidak lagi mencari detail suatu berita; semangatnya untuk mengejar berita dan mengungkapkan kebenaran sudah luluh. Hatinya beku, dia tidak lagi marah melihat ketidakadilan di sekitaranya. Kewajibannya untuk berpihak kepada golongan minoritras dan mereka yang tak terwakili terlupakan sudah.

Di pihak lain, pers setiap hari berhadapan dengan tembok tebal birokrasi serta seribu satu alasan pembenaran penguasa bahwa informasi yang dicari si wartawan adalah rahasia negara.

Maka bila masyarakat ingin pers menjalankan fungsinya, melakukan social control dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, maka tugas pertama masyarakat adalah mengontrol pers supaya mereka tetap bebas, tidak terkooptasi dengan penguasa lewat pos-pos dana “Pembinaan Wartawan.” Masyarakat yang harus mengontrol pers, bukan polisi, bukan negara.

Laporan-laporan pers tentang busung lapar dan wabah polio membuktikan lagi bahwa adalah demi kepentingan pemerintah sendiri bila mereka meghargai kemerdekaan pers. Hanya pers bebas yang bisa menyampaikan laporan-laporan independent. Kalau tidak, mungkin setiap kali terjadi busung lapar atau timbul wabah di daerah, Presiden Yudhoyono harus mendamprat para guberur dan bupati, dengan: “Bikin apa Anda di daerah, kok sampai ada busung lapar?”

#####

[1] Abdullah Alamudi, Instruktur pada Lembaga Pers Dr. Soetomo; Pemimpin Redaksi PERSKITA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun