Mohon tunggu...
Abdul Kasim
Abdul Kasim Mohon Tunggu... -

Hidup selalu dihadapkan pada pilihan; pilihan itu terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. MOVE ON untuk sebuah perubahan!!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Ibu Fitrianah (Semangat Bara di Usia Renta)

2 Oktober 2014   20:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:38 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendayung di Air Kering, Mendulang Emas Hitam

Mungkin ungkapan itu yang sangat pas untuk diberikan kepada sosok seorang ibu yang setiap harinya tidak punya pekerjaan yang tetap dan mungkin kalau dipandang dengan mata terbuka bisa dikatakan itu adalah pekerjaan yang hina dan tidak layak untuk dikerjakan oleh seorang ibu yang selayaknya dihormati dan diperlakukan dengan terhormat.

Ibu Fitrianah(45 tahun) adalah seorang yang setiap harinya menjalani hidup dan mencari nafkah dengan cara memburu sampah dari satu tempat ke tempat lain. setiap harinya mengincar acara-acara yang dirasa banyak menyisakan sampah dan menyisir tempat-tempat yang selalu ramai dikunjungi orang , bahkan sampah palstik yang berada di pinggir jalan yang kebetulan ditemukan, kemudian diangkat dan dikumpulkan untuk dijual ke pengepul barang bekas dengan harga yang sangat rendah, bahkan nayris tidak memenuhi kegutuhan hidup kkeluarga sehari-hari.

Dengan penghasilan Rp 10.000 sampai dengan Rp 15.000 sehari yang didapatkan dari penjualan sampah plastik, kertas dan sampah lainnya ternyata masih jauh daricukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keuarga, belum lagi dia punya 3 orang anak yang semuanya sekolah, ada yang masih SMP dan ada juga yang baru lulus SMA.

ketika ditanya, “apakah anak ibu yang sudah baru lulu SMA itu sudah masuk kuliah bu?”, “ aroo karing araq isik yaq biaye kuliah, isik yaq mangan masih kesusahk daitn” (aduuh,,, untuk makan aja susah, apalagi untuk biaya kuliyah anak), begitu ungkapannya.

“Embe doing taokn sekolah bijem inaq? (dimana saja anak ibu sekolah?)”,,” selapuqn anak-anak tiang sekolah leq Madrasah Pondok Pesantren.” (semua anak saya sekolahnya diMadrasah)…”Kembekn endek sekolah leq seoklah Negeri Inaq” (Kenapa tidka disekolahkan di sekolah Negeri ibu?) ..’ endek mampu lalu,,, endek mampu sekolahang anak leq Negeri, kan bim taon, sekolah nane ye mahal-mahal.” (saya tidak mampu, kan tau sendiri biaye pendidikan di sekolah negeri sangat mahal).

Jawaban yang dilontarkan dari setiap pertanyaan yang diberikan terdengar sangat memilukan dan tragis, seolah di republik ini sudah tidak ada lagi kepedulian, semuanay buta hanya sekedar untuk menatap kondisi warga dengan kondisi ekonomi yang jauh berada dibawah garis kemiskinan.

Satu sosok yang patut untuk ditiru dan diteladani dari semangat dan kegigihannya, tidak peduli usia renta, tidak peduli dengan pandangan orang, yang penting hari, esok, dan esok harus mendapat uang untuk kebutuhan makan keluarga dan biaya sekolah anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun