Mohon tunggu...
Abdul Kadir
Abdul Kadir Mohon Tunggu... -

Kritis, Berani dalam kebenaran, dan Istiqamah...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cara Lain Menguji Kebenaran Pendapat Pemberhentian Sementara Ahok

15 Februari 2017   04:41 Diperbarui: 15 Februari 2017   05:10 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisa atau tidaknya dilakukan pemberhentian sementara Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta terkait status terdakwanya, menjadi topik yang sangat menarik untuk kita kaji dengan sudut pandang yang berbeda. Saya akan coba mengkritisi pertentangan pendapat dan logika hukum yang digunakan oleh dua orang ahli hukum sekaligus mantan hakim tersebut, Prof. Dr. Mahfud M.D. dan Dr. Asep Iwan Iriawan dalam wawancara di sebuah stasiun televisi swasta.


Sebagaimana kita ketahui bahwa Ahok didakwa dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 156 dan pasal 156a. Pasal 156 menyebutkan bahwa “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Sedangkan pasal 156a menyebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Adapun ketentuan pemberhentian sementara gubernur yang berstatus terdakwa diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 83 ayat (1) bahwa “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dalam wawancara tersebut Prof. Dr. Mahfud M.D. menyatakan bahwa berdasarkan pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 Ahok bisa diberhentikan sementara, karena didakwa pasal 156a  dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Sementara Dr. Asep Iwan Iriawan menyatakan dengan tegas bahwa Ahok tidak bisa diberhentikan sementara karena menurut pasal 83 ayat (1) tersebut ancaman hukumannya harus minimal 5 tahun atau 5 tahun ke atas. Inilah perbedaan pendapat kedua ahli tersebut. Keduanya sepakat bahwa pendapat Mendagri yang harus menunggu tuntutan jaksa terhadap Ahok adalah pendapat yang keliru, karena dalam UU tersebut kalimatnya bukan tuntutan tetapi dakwaan yaitu didakwa dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun.

Mari kita coba uji bersama, mana yang benar dari kedua pendapat ahli hukum tersebut. Ada dua ketentuan mendasar yang harus kita pegang teguh sebelum menafsirkan pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait dakwaan pasal 156a terhadap Ahok:

  • Penafsiran yang kita lakukan tidak boleh keluar dari maksud ketentuan undang-undang pada waktu pembentukannya oleh pembuat undang-undang. Saya yakin seyakin-yakinnya, Prof. Dr. Mahfud M.D. maupun Dr. Asep Iwan Iriawan bersepakat dengan ketentuan ini, karena ketentuan tersebut merupakan salah satu metode yang selalu digunakan dalam melakukan penafsiran hukum.
  • Logika yang digunakan adalah logika Irisan Himpunan (), bukan logika Himpunan Bagian (
    himpunan+bagian.png
    himpunan+bagian.png
    ), agar ketentuan nomor 1 tidak terabaikan. Kalau kita tuliskan dalam konsep himpunan matematika, maka kedua kondisi di atas dapat kita buat dalam notasi himpunan sebagai berikut.                  
    A  = {Ancaman Pidana terhadap Terdakwa} = { Ancaman Pidana <= n tahun};  
    B ={Ancaman Pidana Penjara paling singkat 5 tahun}={Ancaman Pidana >= 5 tahun}.
    X = {Ancaman Pidana pasal 156a terhadap Ahok <= 5 tahun}; di mana X
    himpunan+bagian.png
    himpunan+bagian.png
    A.
    Dengan menggunakan logika Irisan Himpunan maka ketentuan pasal 83 ayat (1) bisa berlaku kepada terdakwa jika A
    irisan.png
    irisan.png
    B ≠ { }, bukan menggunakan logika A
    himpunan+bagian.png
    himpunan+bagian.png
    B.  Kenapa begitu? Kalau kita menggunakan logika A
    himpunan+bagian.png
    himpunan+bagian.png
    B, maka  tidak ada satupun terdakwa yang bisa dikenakan ketentuan pemberhentian sementara berdasarkan ketentuan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun, meskipun yang bersangkutan didakwa dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 20 tahun. Coba Anda pikirkan, apakah {Y<=20 tahun}
    himpunan+bagian.png
    himpunan+bagian.png
    {Z>=5 tahun} atau apakah maksimal 20 tahun merupakan himpunan bagian dari minimal 5 tahun? Kalau tidak ada satupun terdakwa yang bisa dikenakan sanksi Pemberhentian Sementara karena ancaman pidana dalam KUHP maupun UU Administratif yang memuat ketentuan pidana selalu menggunakan kalimat selama-lamanya (Ancaman Pidana <= n tahun), untuk apa tujuan pasal ini dibuat?

Saya sepakat dengan Prof. Dr. Mahfud M.D. bahwa pemberhentian sementara Ahok bisa dilakukan berdasarkan ketentuan pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait dakwaan pasal 156a, karena ancaman pidana yang didakwakan terhadap Ahok beririsan waktunya dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 5 tahun sebagai persyaratan untuk dilakukannya pemberhentian sementara. Wallaahu a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun