Martin, bocah dayak yang berjuang untuk pendidikan dan masa depan gemilang
Martin, atau yang lebih akrab disapa "Enten," adalah seorang anak berusia 11 tahun yang lahir pada 13 November 2013 di Ng. Tebidah. Dikenal sebagai bocah Dayak yang penuh semangat, Martin telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam bidang akademik sejak awal pendidikan dasar.Â
Kini, di bangku kelas 6 SDN 07 Tanjung Lalau, ia telah menorehkan sejarah sebagai juara kelas selama 11 kali berturut-turut, sebuah pencapaian yang sangat mengesankan bagi anak seusianya. Namun, prestasi ini bukanlah hasil dari kebetulan semata, melainkan buah dari kerja keras, ketekunan, dan semangat tinggi untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, Martin tumbuh dalam keluarga sederhana di daerah yang mungkin belum terlalu berkembang dari sisi infrastruktur dan akses pendidikan. Meskipun demikian, Martin memiliki tekad yang sangat kuat untuk mengejar pendidikan.Â
Bagi Martin, pendidikan bukan hanya sekadar proses pembelajaran, melainkan sebuah jembatan untuk mengubah nasib dan memberi manfaat bagi orang banyak. Sejak kecil, dia sudah memiliki visi yang jelas mengenai pentingnya pendidikan untuk kemajuan daerahnya, terutama dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Dusun Jolai.
Semangat berprestasi dan pendidikan sebagai kebutuhan
Bagi Martin, belajar bukan hanya untuk pengembangan diri sendiri, tetapi lebih jauh lagi, untuk memahami orang lain dan berkontribusi pada masyarakat sekitar.Â
"Belajar bukan semata-mata hanya untuk pengembangan diri, tetapi lebih adalah bagaimana kita bisa memahami orang lain dan terlebihnya bisa membantu berbagai stakeholder," ujarnya dengan penuh keyakinan. Pernyataan ini menggambarkan pandangannya yang jauh lebih dalam tentang arti pendidikan, yakni sebagai alat untuk memberdayakan orang lain dan mengubah kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Semangat untuk belajar dan berprestasi yang dimiliki Martin sangat dipengaruhi oleh adagium hidup yang selalu ia pegang teguh, yaitu "Tidak pantas untuk berkata tanpa ontologi saint." Bagi Martin, adagium ini menjadi landasan dalam menelaah dan memahami segala ilmu yang ia pelajari.Â
Ia percaya bahwa pengetahuan yang dimiliki harus berdasarkan prinsip dan pemahaman yang kuat, bukan hanya sekadar teori kosong. Hal ini mendorong Martin untuk tidak hanya menjadi seorang pelajar yang tekun, tetapi juga seorang pemikir yang kritis.