Dari perkembangan realisasi APBN 2016, pada awal Febrairi lalu menunjukkan adanya defisit yang terjadi dikarenakan belanja negara lebih besar dari penerimaan pada saat yang sama. Belanja negara sebesar Rp.164,9 trilyun sedangkan penerimaan yang masuk hanya sebsar Rp.94,9 trilyun sehingga mengakibatkan defisit Rp.70 trilyun. Meskipun realisasi yang mengalami defisit pada awal Februari lalu dalam jumlah yang relatif kecil dibanding total APBN 2016 sebesar Rp. 2.095,7 trilyun, hal ini tidak boleh dianggap sebagai kejadian yang wajar-wajar saja diawal tahun dikarenakan penerimaan perpajakan masih belum masuk. Masalahnya sudah enam tahun ini (dari 2010 s.d 2015) penerimaan perpajakan tidak pernah mencapai target.Â
Dalam manajemen keuangan pemerintah, kondisi demikian merupakan sinyal telah terjadi resiko fiskal yang ditandai dengan adanya defisit karena target penerimaan tidak sesuai dengan rencana. Resiko fiskal adalah segala sesuatu yang dimasa mendatang dapat menimbulkan tekanan fiskal terhadap APBN yang sumbernya dapat berupa resiko deviasi APBN, resiko kewajiban kontinjensi pemerintah dan resiko fiskal tertentu. Resiko deviasi APBN terdiri dari : a. Resiko asumsi dasar ekonomi makro (ADEM), b. Resiko deviasi pendapatan dan belanja negara, dan c. Resiko utang pemerintah.
Untuk menjamin kelangsungan APBN 2016 yang masih harus dijaga sepuluh bulan kedepan, resiko deviasi APBN harus  mendapat perhatian serius pemerintah. Untuk itu, ADEM yang digunakan dalam menyusun APBN 2016 yang tidak realistis dan tidak sesuai dengan kondisi riil harus segera dirombak, seperti target pertumbuhan ekonomi dan harga minyak Indonesia (ICP). Dua komponen ADEM ini sangat mempengaruhi penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selanjutnya, deviasi pendapatan dan belanja negara harus disiasati dengan bijak agar APBN 2016 tidak mengalami gejolak atau berdampak negatif pada target-target pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Akibat target pendapatan negara tidak tercapai maka berbagai belanja yang kurang perlu harus dipangkas. Jika pendapatan yang masuk tidak cukup untuk mendanai belanja maka pemangkasan anggaran belanja menjadi salah satu pilihan pahit yang harus dilakukan agar defisit tidak semakin melebar yang akhirnya menambah utang pemerintah. Sebagaimana yang telah terjadi pada APBNP 2015, dikarenakan realisasi pendapatan perpajakan tidak mencapai target, sebagai akibatnya defisit anggaran semakin lebar atau lebih besar dari yang ditargetkan. Artinya, pemerintah harus menambah utang lagi untuk menutup defisit, meskipun jumlah utang pemerintah pada akhir 2015 sudah cukup besar yakni mencapai Rp. 3.098 trilyun.
Berdasarkan tiga sumber resiko fiskal, yang patut mendapatkan prioritas penanganannya oleh pemerintah adalah resiko deviasi APBN utamanya adalah resiko deviasi pendapatan dan belanja negara. Pendapatan perpajakan dan non pajak harus digenjot sekuat daya agar dua sumber utama pendapatan APBN bisa mencapai target. Pada saat yang sama belanja negara harus dijaga agar benar-benar efektif, efisien, produktif, ekonomis, sesuai ketentuan perundang-undangan dan bebas korupsi. SEMOGA. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H