Kasus Semburan Lumpur Lapindo
18 Tahun yang lalu tepatnya 29 Mei 2006, Semburan lumpur panas terjadi di kawasan pengeboran PT Lapindo Brantas, yang saat itu sedang melakukan pengeboran untuk proyek gas alam. Kasus semburan lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan salah satu bencana lingkungan terbesar di Indonesia yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Akibat bencana ini, puluhan ribu warga harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian. PT Lapindo Brantas, yang dimiliki oleh grup Bakrie, menghadapi gugatan dari berbagai pihak, termasuk korban bencana, pemerintah, dan organisasi lingkungan. Awalnya, PT Lapindo berpendapat bahwa semburan lumpur disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada waktu yang bersamaan, namun para ahli geologi dan lingkungan berpendapat bahwa semburan tersebut adalah akibat dari kesalahan pengeboran yang dilakukan perusahaan.
Dari segi hukum, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 13 Tahun 2006 mewajibkan PT Lapindo Brantas untuk membayar kompensasi kepada para korban bencana, termasuk ganti rugi atas rumah dan lahan yang terdampak. Hukum yang diterapkan dalam kasus ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di sisi lain, tanggung jawab pidana atas kejadian tersebut tidak pernah sepenuhnya ditegakkan terhadap PT Lapindo, yang menimbulkan kritik dari masyarakat dan aktivis lingkungan.
Analisis Berdasarkan Filsafat Hukum PositivismeÂ
Filsafat hukum positivisme, sebagaimana dikemukakan oleh John Austin dan H.L.A. Hart, berpendapat bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang dibuat oleh otoritas yang sah dan harus ditegakkan tanpa memperhitungkan aspek moral atau etika. Dalam kasus Lapindo, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden yang menjadi dasar hukum formal untuk penyelesaian kasus ini. Hukum positif di sini mengacu pada peraturan tertulis yang mengikat, seperti Keppres dan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan.
Menurut pandangan John Austin, hukum adalah perintah dari otoritas yang berdaulat, dan dalam hal ini, pemerintah bertindak sebagai otoritas yang menentukan tanggung jawab PT Lapindo. Hukum dijalankan sesuai dengan aturan formal, meskipun dari sudut pandang moral, ada perdebatan apakah tanggung jawab Lapindo sudah terpenuhi secara adil atau belum. Pengadilan dalam kasus ini hanya melihat pada aspek legal formal tanpa mempertimbangkan kepuasan moral atau keadilan sosial yang lebih luas.
Sementara itu, H.L.A. Hart dalam teori rules of recognition menyatakan bahwa hukum diakui sah bila diakui oleh otoritas dan dijalankan sesuai prosedur yang berlaku. Dalam kasus Lapindo, aturan-aturan hukum terkait lingkungan dan ganti rugi sudah dijalankan melalui mekanisme hukum formal, meskipun terdapat kekurangan dalam implementasinya, terutama terkait kompensasi yang belum sepenuhnya dibayar.
Penerapan Hukum Positivisme di IndonesiaÂ
Kasus Lapindo mencerminkan bagaimana hukum positif diterapkan di Indonesia, di mana aturan formal yang ditetapkan oleh pemerintah diakui sebagai dasar hukum yang sah. Penerapan hukum positif di Indonesia memastikan bahwa konflik diselesaikan berdasarkan peraturan yang berlaku, tanpa mempertimbangkan faktor moralitas atau keadilan substantif yang mungkin diabaikan dalam prosesnya. Meskipun tanggung jawab Lapindo diakui secara hukum, proses kompensasi yang lambat dan ketidakpuasan masyarakat menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas hukum positif dalam menyelesaikan konflik sosial dan lingkungan.Â
Referensi:
- Tempo.co. "Sejarah Lumpur Lapindo dan Penanganan Pemerintah." .
- BBC Indonesia. "Lapindo dan Nasib Korban Lumpur yang Masih Menanti Ganti Rugi.".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H