Entah mau mulai dari mana. Pastinya, gemuruh seisi kepala menggila. Memikirkan tentang bagaimana dan bagaimana, sampai kita lupa bahwa kita bukan siapa-siapa. Benar saja, notifikasi mu menjelma topan yang hampir melumat hari ini.
Payah, sungguh! Seimbang kah semua untuk segala daya pengorbanan? Apa tidak coba kita bicarakan? Selalu saja dalam benak mu adalah kemunafikan. Hai, Lin perihal lingkungan dan timbal balik bukan titik tujuan.Â
Kembali pada fitrahnya saja, suci. Pasrah untuk segalanya adalah kemustahilan kah? Tidak bukan. Kali ini kesadaran menghantam  bahwa kita adalah pernah tapi tidak iya.
Berlari juga perlu rehat, apalagi yang sekedar berjalan. Lambat! Hai, Lin aku sadar kita bersebrangan. Berdiri di setiap janji, melangkah yang penuh arti sakit.Â
Luka yang tak nampak, berkaca dan sulit menerima selalu kita agungkan. Andai saja aku dapat menemukan pecahan-pecahan dan menyusun kembali retakan itu meskipun tidak sempurna. Aku memilih nya.
Hai, Lin perihal benar ataupun salah kita tidak punya kadar dan takarannya. Segi batasanpun masih kita jarah. Kebencian tetaplah kebencian, titik terang damai takpernah kita pastikan kapan? Lalu apa kamu mengingatnya, bahwa benih itu tumbuh secara alamiah. Gugurlah sekalian, matilah bila perlu, semai dan tumbuhlah seperti harap mu yang terus terjaga.
Hai, Lin tetap hidup dengan segala risikonya dan kelapangan hati yang kuat ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H