Perguruan Tinggi Agama Islam merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada dibawah otoritas Departemen Agama (sekarang: Kementerian Agama) Republik Indonesia. Berbagai jurusan baik umum hingga menuju ke akar atau asal usul dari tujuan dibentuknya PTAI di Indonesia yakni menggali serta memperluas keilmuan keislaman. Oleh karenanya berbagai jenis PTAI di Indonesia mulai dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) maupun yang sudah mapan dengan bentuk kemodernannya –Universitas Islam Negeri- (UIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) sebenarnya memiliki tujuan yang sama yakni mencetak generasi Ulama dan Intelektual. Dalam kata lain berarti menginginkan terbentuknya individu Muslim yang intelektualis dan moralis.
Institut Agama Islam Negeri Surakarta adalah salah satu dari puluhan hingga ratusan Perguruan Tinggi Agama Islam yang terdapat di Indonesia yang juga mempunyai tujuan mencetak generasi yang Intelek dan Moralis. Tujuan ini bukan tidak berdasar, sebagaimana esensi dari aksiologi didirikannya Perguruan Tinggi berbasis Islam dibawah otoritas Departemen Agama seperti yang diungkapkan Arief Subhan ketika mengkutip pernyataan B.J. Boland bahwa keberadaaan Departemen Agama dalam konteks negara Indonesia ini sebagai “jalan tengah” yang dapat ditempuh di antara ketegangan yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat yang bercita-cita membentuk “negara sekuler” di satu sisi, dan kelompok masyarakat yang mencita-citakan “negara Islam” di sisi lain.[1] Maka dapat dikatakan bahwa PTAI ini merupakan bentuk reinkarnasi sekaligus rekontstruksi dari Madrasah klasik yang hanya mengkaji tentang ilmu-ilmu keislaman salaf seperti, dalam mengkaji fikih misalnya masih condong ke madzhab tertentu (fikih Syafi’i), dari teologi hanya menuju ke Asy’ari dan secara global kiblat keilmuan masih condong ke Timur Tengah. Dan kajian keislaman yang sedemikian itu ternyata diaplikasikan pada awal terbentuknya Perguruan Tinggi Islam sekitar tahun 1965-an, walaupun tidak dapat dipungkuri kajian mengenai filsafat atau teologi pada periode ini bisa dikatakan sudah berani diajarkan kepada para mahasiswa (yang kebanyakan pernah ngaji di pesantren tradisional/madrasah).
Kemudian terjadi perubahan kecenderungan mulai sekitar tahun 1980-an, sebagaimana Mujamil Qomar dalam bukunya Strategi Pendidikan Islam mencatat apa yang dilaporkan Azra tentang perjalanan IAIN ini. Dari yang awalnya berbasis pendidikan konservatif beralih ke pendidikan yang terkesan lebih inklusif seperti, kajian-kaijan Islam di IAIN mulai dawarsa 1980-an hingga sekarang telah berubah menjadi bersifat nonmadzhab atau menggunakan pendekatan nonmadzhabi, terjadinya pergeserah dari kajian-kajian Islam yang lebih bersifat normatif ke arah yang lebih bersifat historis, sosiologis dan empiris, serta orientasi keilmuan yang disuguhkan sekarang lebih luas dan beragam sehingga mulai memunculkan model pendekatan Barat pada Islam.[2]
Dengan melihat beberapa fungsi dibentuk dan kecenderungan dari IAIN maupun PTAIS diatas, dapat ditarik benang merah bahwa sesungguhnya misi dari Perguruan Tinggi Islam adalah pertama, untuk misi akademis (keilmuan) dan kedua, misi dakwah (keagamaan). Namun pada faktanya kedua misi tersebut masih terkesan belum terealisasi secara penuh, tidak seperti yang diharapkan.
Amin Abdullah pun menegaskan demikian, bahwa kinerja Islamic Studies (dirasat Islamiyah) di Perguruan Tinggi Islam agaknya masih lebih terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, hostoris-empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingukngan para peneliti yang jumlahnya masih sangat terbatas. Tentunya ini menjadi problem yang cukup serius dan sangat dilematis dalam menjembatani misi akademis dan keagamaan.[3]
Meminjam kritikan Muhaimin terhadap PTI dalam bukunya Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, disana Muhaimin memaparkan bahwa problematika tentang misi mulia dari PTI yang belum maksimal terealisasi ini disebabkan salah satunya karena kurangnya sumber daya manusia (kelulusan) yang mampu merespons tuntutan dan tantangan perkembangan ipteks serta era informasi dan globalisasi di masyarakat masa kini. Selain karena terbatasnya SDM, juga karena kurang intensifnya kegiatan penelitian yang menggunakan pendekatan dasar yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial, kealaman dan humanities.[4] Ini berarti secara serta merta PTI dalam mengkader ulama dan intelektual masih sebatas penggemblengan akan wawasan keilmuan keislaman saja (yang dibutuhkan oleh personal), belum ke arah tuntutan dan tantangan yang diprioritaskan di masyarakat (yang lebih dibutuhkan oleh kolektif). Masyarakat disana pun harus dipahami masyarakat era sekarang yang membutuhkan pembelajaran dan kerjasama dari berbagai sektor misalnya, pertanian, kesehatan, kebangsaaan (nasionalisme), pemberdayaan desa dan masyarakat hingga masalah kebersihan lingkungan (kealaman)[5] dan ketertiban lalu lintas.
Kritik tersebut menggarisbawahi perlunya PTI pada tataran operasional dibangun agar lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan di seluruh keahlian, serta berada pada sluruh strata kehidupan dan keahlian. Dengan demikian diharapkan lulusan PTI mampu berkiprah dalam forum mana pun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas yang lebih luas, yang meliputi penyiapan calon-calon ulama/agamawan, teknolog, dokter, psikolog, budayawan atau sastrawan, ekonom, sosiolog, sejarawanm saintis dan ulama yang (berspektif Islam). Jangan hanya dapat mengucapkan masya Allah ketika terkagum dengan temuan ipteks, atau mengucapkan astaghfirullah ketika temuan ipteks membuat petaka.[6] Boleh jadi agak sulit dalam mengupayakan apa yang diidamkan dari sebuah PTI yang ideal tersebut, namun dengan usaha (bekerjasama, kompak) disertai keyakinan dan spiritual, niscaya tidak dapat dipungkiri pada akhirnya impian tersebut akan tercapai.
Hubungannya dengan sebuah organisasi kemahasiswaan yang dalam hal ini adalah Ikatan Mahasiswa dari satu daerah sangatlah dibutuhkan untuk membantu atau minimal sekedar meminimalisasi problem yang cukup urgen dalam menjembatani misi akademis dan keagaamaan yang terdapat di kampusnya (IAIN). Ambillah sampel munculnya organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berideologi Islam seperti HMI, PMII, IMM maupun KAMMI. Jika mau memahami tujuan dari dibentuknya organisasi-organisasi tersebut yang notabene berada dilingkungan kampus, maka secara ushuliyyah mereka memiliki satu misi yakni dakwah Islamiyyah untuk membentuk masyarakat (mahasiswa) yang madani atau ummatan wasathan dan ideal secara kaffah. Walau tidak dapat dipungkiri jalan yang mereka tempuh berbeda-beda (secara furu’iyyah), ada yang melalui jalur politik kampus, lembaga diskusi keilmuan, lembaga dakwah kampus, lembaga sosial, hingga bekerjasama dengan instansi-instansi kebudayaan, kesehatan, lingkungan hidup, dan kepolisian.
Melihat runtutan misi dari Perguruan Tinggi Islam yang direpresentasikan melalui berbagai organisasi keislaman diatas, maka Ikatan Mahasiswa Kebumen merasa turut turun tangan untuk membangun serta merealisasikan misi mulia dari Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Islam. Ikatan Mahasiswa Kebumen merupakan satu organisasi atau mungkin bisa dibilang hanya sebatas komunitas mahasiswa yang berasal dari Kota Kebumen “Beriman” Jawa Tengah, yang tersebar diberbagai penjuru Universitas, Institut, maupun Sekolah Tinggi di seluruh Indonesia.