Mohon tunggu...
Humaniora

Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia

20 September 2015   11:43 Diperbarui: 20 September 2015   12:40 2043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain itu, dalam konteks kenegaraan Gus Dur juga menyatakan bahwa jika Islam secara legal dan formal dijadikan asas kenegaraan, dikhawatir

kan akan menciptakan kendala psikologis bagi umat nonmuslim yang juga pemilik negeri ini dalam partisipasi aktifnya membangun bangsa. Jika ini terjadi, menurut Abdurrahman Wahid akan menyebabkan rapuhnya ikatan kebangsaan yang sudah dibangun para pendiri bangsa.

Buku ini juga menceritakan tentang ketika Gus Dur pernah menuding ICMI sebagai salah satu kalangan Islam eksklusif yang tidak menghargai pluralisme agama. Syamsul Bakri dan Mudhafir berhasil menyebutkan alasan mengapa Gus Dur menuding ICMI tersebut.“Benturan itu dipengaruhi oleh kerasnya pandangan keislaman yang eksklusif dan inklusif, seperti tercermin dalam pelontaran isu Kristenisasi di Indonesia oleh para intelektual muslim yang tergabung dalam ICMI”, ungkap Gus Dur. Dengan sendirinya perdebatan seru mengenai isu Kristenisasi ini akan mengganggu hubungan antaragama yang sedang dibangun. Menurut Gus Dur, Islam seharusnya tidak ditampilkan secara eksklusif dan diskriminatif terhadap pihak lain. Olehkarenanya, pandangan Gus Dur yang kosmopolitan ini merupakan cara pandang yang akomodatif, moderat, pluralis dan antisektarian sehingga diharapkan muslim dapat menerima dan mengembangkan kerja sama dengan nonmuslim. Tentunya kerja sama pada bidang sosial-ekonomi, bukan kerja sama dalam hal akidah-ibadah.

Pemikiran Cak Nur

Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid memiliki pola pemikiran dan gerakan tersendiri dalam melakukan pencerahan terhadap mayarakat Islam dalam konteks bagaimana umat Islam menghadapi peradaban global akibat dampak modernisasi dan globalisasi dalam skala yang lebih luas. Ak

ibat dari adanya arus modernisasi dan globalisasi ini setidaknya telah menghadirkan banyak tawaran dalam kehidupan beragama. Clifford Geertz dalam hal ini mengungkapkan bahwa tawaran itu muncul dalam dua wajah, yaitu sekularisasi pemikiran dan ideologis agama. Untuk itu, Nurcholish Madjid menganjurkan sekularisasi dalam pengertian sosiologis, yaitu memanfaatkan akal untuk hal-hal yang bersifat duniawi sehingga secara efektif dapat berhasil guna kesejahteraan hidup manusia.

Dalam hal ini Cak Nur menolak sekularisme. Karena menurutnya sekularisme merupakan ideologi yang tertutup dan mirip agama. Sementara itu, Abdurrahman Wahid tidak memilih ekstrimitas keduanya, hanya saja ia berpandangan bahwa sekularisasi akan dianggap positif apabila yang dimaksudkan adalah proses sosial yang mengarah pada penerapan nilai-nilai humanisme yang berbasis pada ajaran agama. Untuk itu, dia tidak pernah menganggap pandanga Cak Nur sebagai sesuatu yang menyimpang.

Titik-titik simpul pemikiran Nurcholish Madjid sebenarnya bertumpu pada beberapa hal. Salah satunya adalah relativisme, yakni bahwa kebenaran penafsiran keagamaan bersifat relatif terhadap perkembangan ruang dan waktu. Oleh karena itu, diperlukan selalu usaha reinterpretasi ajaran agama menurut kedisinian dan kekinian (here and now).

Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur

Terlepas dari perbedaan karakter tersebut, dua putra asli Jombang ini memiliki persamaan yang sangat mendasar, yaitu sama-sama cendikiawan, berani dalam melawan arus, progresif, dan visioner. Kapabilitas yang jauh melampaui visi mayoritas orang sezaman inilah yang membuat kedua sosok ini kerap terlihat aneh di mata publik, ditatap penuh dengan kecurigaan, bahkan dituduh sebagai musuh Islam.

Padahal sesungguhnya, yang dilakukan Gus Dur dan Cak Nur adalah memberikan tanggapan yang tepat terhadap realitas zaman yang semakin kompleks. Dua cendikiawan santri ini mengemukakan gagasan-gagasan pembaruan dalam rangka memberdayakan agama sehingga mampu menjadi kekuatan yang produktif dan penuh solusi menghadapi persoalan kehidupan global. Pembaruan bagi keduanya adalah sangat salah jika agama hanya dipahami sebagai lahan spiritualitas yang melenakan sehingga melupakan persoalan aktua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun