Di dalam kitab Zubad, karya Syeikh Ibnu Ruslan, ada tiga instrumen Ilmu; Ilmu Fiqih, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Akhlaq Tasawuf.
Tapi, yang mau saya tulis di sini hanya ilmu Fiqih dan ilmu Akhlaq Tasawuf. Pertama, tentang ilmu Fiqih. Sederhananya, Fiqih merupakan ilmu yang mempelajari tata cara peribadahan. Fiqih juga mengatur ibadah hingga mencapai kategori 'sah'.
Berdasarkan yang saya pelajari, jika kita hanya berstatus orang awam (bukan ahli ilmu, wali, d.l.l), seluruh ibadah kita hanya bisa mencapai kategori 'sah'. Karena diterima atau tidaknya suatu ibadah sudah bukan ranah manusia, melainkan ranah rahasianya Allah.
Kedua, tentang ilmu Akhlaq Tasawuf. Akhlak Tasawuf, yang saya pelajari sampai sekarang, sederhananya adalah ilmu yang berkaitan dengan hati. Ia berfungsi untuk menata hati; mengatur niat. Juga membunuh penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, ujub, takabur, d.l.l. Serta melatih hati agar mencapai derajat ikhlas, sabar, tidak mengeluh, tidak merasa lebih baik, rasa rido (menerima), d.l.l. Kalau sudah berbicara hati, maka rasa yang akan berbicara.
Jadi, kalau ada isitilah raga dan jiwa, Fiqih adalah raganya, dan Akhlaq Tasawuf adalah jiwanya. Kalau ada istilah zahir dan batin, Fiqih yang bersifat zahir, dan Akhlaq Tasawuf yang bersifat batin. Kalau ada istilah jasmani dan rohani, Fiqih adalah jasmaninya, dan Akhlaq Tasawuf adalah rohaninya.
Fiqih membahas ibadah secara lahir (luar). Sementara, Akhlaq Tasawuf membahas secara batin (dalam). Kalau kata guru saya, keduanya berbeda ranah keilmuan, namun harus berjalan beriringan.
Masih kata guru saya, orang yang belajar Fiqih tanpa belajar Akhlaq Tasawuf, maka berpotensi lebih mudah untuk menyalah-nyalahkan orang lain. Karena ia hanya khatam ibadah secara fisik, tapi buta secara batin.
Sebaliknya, orang yang belajar Akhlaq Tasawuf tanpa belajar Fiqih, maka ibadahnya berpotensi berantakan. Karena ia buta terhadap hukum, syarat, rukun, dan hal yang membatalkan suatu ibadah. Itu kata guru saya.
Contoh kasus 1
Seumpama, ada adagium, "Salat, yang penting niatnya baik."
Nanti dulu, kita bisa melihat dari berbagai aspek. Kalau yang melontarkan adagium di atas memang tidak tahu tata cara salat, maka secara Fiqih, itu dimaafkan karena faktor ketidaktahuan, dengan syarat, orang tersebut tidak berhenti belajar.