Sebubarnya salat asar berjamaah, waktu sore merupakan waktu yang paling leluasa bagi santri untuk beraktivitas bebas.
Santri yang memiliki minat olahraga, mereka bermain sepak bola, sepak takraw, basket, voli, dan badminton. Di antara mereka juga ada yang sibuk baris-berbaris, karena bagian dari anggota Pramuka.
Sebagian dari mereka menyalurkan hobi musiknya melalui studio yang disediakan pondok. Seperti Marawis, Hadroh, dan juga Band. Beberapa lagi mesra bersama kuas, mencorat-coret kanvas untuk dijadikan bahan lampias.
Sisanya, ya, hanya santri pengangguran. Santri golongan indie, yang kerjaannya cuma lalu-lalang mengamati santri lainnya beraktifitas.
Kebetulan di sore itu, pagelaran turnamen sepak bola antar asrama sedang berlanjut. Tim asramaku berhasil menembus babak semi final. Dipimpin oleh kepala asrama, yang merupakan santri senior kelas 3 SMA. Ia mengambil kemudi tanggung jawab untuk menseleksi punggawa-punggawa hebat yang mewakili asramaku.
Aku, Fajrul, satu dari sekian ratus santri golongan indie, alias tidak memiliki aktifitas sore. Aku duduk di gundukan kecil, di pinggir lapangan, menyaksikan pertandingan itu secara khidmat bersama santri-santri golongan indie yang lain.
Tensi pertarungan di lapangan sudah sangat membara sejak menit-menit awal. Beberapa pelanggaran keras dan adu mulut antar pemain sering kali terjadi.
Hingga ada satu momen puncak yang menyebabkan amarah pendukung tim asramaku meletup. Pemain dari asrama lain, namanya Arwanih, secara sengaja menyikut wajah pemain dari asramaku saat duel udara. Emosiku digedor seketika. Karena yang disikut adalah kawanku, Hengki, orang yang menemaniku ngobrol di malam kemarin.
Wasit meniup pluit tanda pelanggaran sekaligus mengganjar Arwanih dengan kartu kuning. Penonton bersorak berapi-api. Pertandingan semakin mendidih. Sementara, Hengki belum juga bangkit pasca terlibas oleh sikut. Ia masih uring-uringan di atas tanah, meringis kesakitan sambil menutupi wajahnya.
Beberapa santri berusaha menahan diri untuk memasuki arena permainan, agar tidak mencampuri urusan pertandingan. Akhirnya Hengki bangkit. Wasit mencoba memastikan apakah Hengki dapat melanjutkan pertandingan atau tidak.
Dari pinggir lapangan, secara mendadak seorang santri berlari kencang masuk ke lapangan. Aku menyaksikannya dari kejauhan. Kori, itu adalah namanya. Ia menghampiri Arwanih untuk melayangkan satu pukulan paripurna ke wajah Arwanih yang langsung tersungkur.