Mohon tunggu...
Aziz Baskoro Abas
Aziz Baskoro Abas Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Nulis

Doyan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diary Santri X: Berkata yang Baik atau Diam dalam Pertandingan Sepak Bola

17 Maret 2021   17:23 Diperbarui: 17 Maret 2021   17:32 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebubarnya salat asar berjamaah, waktu sore merupakan waktu yang paling leluasa bagi santri untuk beraktivitas bebas.

Santri yang memiliki minat olahraga, mereka bermain sepak bola, sepak takraw, basket, voli, dan badminton. Di antara mereka juga ada yang sibuk baris-berbaris, karena bagian dari anggota Pramuka.

Sebagian dari mereka menyalurkan hobi musiknya melalui studio yang disediakan pondok. Seperti Marawis, Hadroh, dan juga Band. Beberapa lagi mesra bersama kuas, mencorat-coret kanvas untuk dijadikan bahan lampias.

Sisanya, ya, hanya santri pengangguran. Santri golongan indie, yang kerjaannya cuma lalu-lalang mengamati santri lainnya beraktifitas.

Kebetulan di sore itu, pagelaran turnamen sepak bola antar asrama sedang berlanjut. Tim asramaku berhasil menembus babak semi final. Dipimpin oleh kepala asrama, yang merupakan santri senior kelas 3 SMA. Ia mengambil kemudi tanggung jawab untuk menseleksi punggawa-punggawa hebat yang mewakili asramaku.

Aku, Fajrul, satu dari sekian ratus santri golongan indie, alias tidak memiliki aktifitas sore. Aku duduk di gundukan kecil, di pinggir lapangan, menyaksikan pertandingan itu secara khidmat bersama santri-santri golongan indie yang lain.

Tensi pertarungan di lapangan sudah sangat membara sejak menit-menit awal. Beberapa pelanggaran keras dan adu mulut antar pemain sering kali terjadi.

Hingga ada satu momen puncak yang menyebabkan amarah pendukung tim asramaku meletup. Pemain dari asrama lain, namanya Arwanih, secara sengaja menyikut wajah pemain dari asramaku saat duel udara. Emosiku digedor seketika. Karena yang disikut adalah kawanku, Hengki, orang yang menemaniku ngobrol di malam kemarin.

Wasit meniup pluit tanda pelanggaran sekaligus mengganjar Arwanih dengan kartu kuning. Penonton bersorak berapi-api. Pertandingan semakin mendidih. Sementara, Hengki belum juga bangkit pasca terlibas oleh sikut. Ia masih uring-uringan di atas tanah, meringis kesakitan sambil menutupi wajahnya.

Beberapa santri berusaha menahan diri untuk memasuki arena permainan, agar tidak mencampuri urusan pertandingan. Akhirnya Hengki bangkit. Wasit mencoba memastikan apakah Hengki dapat melanjutkan pertandingan atau tidak.

Dari pinggir lapangan, secara mendadak seorang santri berlari kencang masuk ke lapangan. Aku menyaksikannya dari kejauhan. Kori, itu adalah namanya. Ia menghampiri Arwanih untuk melayangkan satu pukulan paripurna ke wajah Arwanih yang langsung tersungkur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun