Aku bersama lima sahabatku duduk melingkar di atas conblock dengan gelas kopi berjejer di tengah. Kami sedang kumpul asyik di kedai kopi daerah Bulungan, Blok M, Jakarta.
Kala itu waktu menunjukan pukul 10 malam. Dan salah seorang temanku, Natasha, berkelakar, "Ayo kita lanjut ke situ." Tangannya menunjuk ke arah daerah Kemang.
Lalu salah seorang teman yang lain, Mia, bertanya ke arahku, "Lo gimana? Ikut?"
"Gak, deh."
"Lah, kenapa?" Mia sedikit menyayangkan.
"Haram, Mi. Agama gue...."
"Yah. Gak asik!" Natasha memotong.
Natasha beranjak, lalu berdiri menatap tajam ke arahku. "Lo kalo mau ceremah di mimbar aja. Jangan di sini!" Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk wajahku.
Sejak insiden itu, aku beranggapan mereka cenderung alergi terhadap aroma kosa-kata religi.
Mungkin bagi mereka, religi adalah ranah privasi. Tidak perlu diumbar, biarkan menjadi urusan dibalik layar. Begitu idiom yang familiar terdengar.
Namun aku tak lekas mengamini. Karena menurutku, agama juga punya hak yang sama selayaknya ilmu Psikologi, Komunikasi, atau Ekonomi.Â