Mohon tunggu...
Abdul AzizArifin
Abdul AzizArifin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nur Cinta Sang Jenderal

5 Desember 2021   05:32 Diperbarui: 5 Desember 2021   05:43 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Part 1 Masa-Masa Indah di Pesantren

Sejuknya tetesan embun yang menempel di permukaan rerumputan menyapa pori-pori kulit kaki. Langkah demi langkah kaki semakin mendekatkan jarak tempuh menuju mata air Kalingga. Gemericik aliran air Kalingga menjadi senandika indah yang mengiringi ratusan pasang kaki yang bergegas membersihkan jasad, yang bersiap untuk wudhu. Beberapa orang santri tampaknya lebih dulu berada di sana. Dengan mengucap basmallah, kubasuh satu persatu anggota tubuh yang harus terbersihkan oleh air wudhu. Kututup rangkaian wudhu ini dengan lantunkan doa penuh pengharapan pada sang pembersih jiwa yang maha kasih, Allah Ta'ala.
"Dirman, tunggu!" Namaku disebut seseorang. Tak lama, kulihat tubuh gempal Badru berguncang-guncang karena berlari mendekatiku. Perutnya yang tambun naik turun seakan -akan semua isinya akan tumpah jika dia jatuh.
"Kayak dikejar wewe gombel aja kamu, Dru. Kenapa?"
"Gara-gara kamu yang ninggalin aku, badanku jadi basah kuyup nih!" Badru bersungut-sungut. Mulutnya tampak lucu, gegara mencong  sana sini.
"Disirem petugas patroli lagi, ya? Salah sendiri punya mata ko susah melek. Aku sudah berusaha membangunkan kamu berkali-kali. Kalau gak percaya, tanya sama Ahmad atau Kodir." Jawabku santai.
"Iya, makasih. Hanya kamu temenku yang masih peduli sama aku yang lelet ini.  Eh ... Aku ndak habis pikir. Kenapa kamu yang wong sugih tapi mau-maunya mesantren di pondok kumuh seperti ini. Romomu Raden Tjokrosunaryo, seorang asisten wedana di Rembang, iya toh?"
"Romo mengharapkan aku bisa jadi orang besar. Dawuh Romo, Rasulullah dan para Anbiya yang hebat itu dibesarkan dalam keadaan prihatin, merih. Kalau kita mau jadi orang besar, kita harus mencontoh mereka."
"Yo ndak sampai ngeblangsak kayak gini juga kali, ah. Pokoke, aku mau cepet khatam kitab Jalala'en dan Sapinah. Abis itu, pulang. Emong aku kalo musti lanjut kajian kitab lainnya."
Badru masih saja mengoceh tak jelas. Jalan setapak yang menanjak membuat langkah Badru semakin melambat. Nafasnya terengah-engah. Dari jauh, kulihat api obor yang menari-nari dengan cantiknya. Pedaran cahaya obor menjadi penanda adanya kehidupan di penghujung malam yang senyap. Suara adzan berkumandang dengan merdu mengajak untuk menyibakkan selimut bagi yang masih terlelap.bagi kami,suara adzan ini  membuat langkah kaki  secara otomatis bertambah kecepatannya. Aku ndak mau kena tanzir, memalukan!
Untunglah, kami sampai di langgar ini tepat ketika lantunan adzan berahir. Dengan khidmat, kuangkat tangan untuk mengagungkan asmaNya. Semua santri serentak melakukan dua rakaat qabla Subuh. Tak lama kemudian iqamat melantun syahdu, memandu kami untuk merapatkan shaf shalat. Lantunan surat ar Rahman yang dikumandangkan kyai membuat hati kami merasakan kenikmatan tiada tara. Rahman rahimNya terasa hingga ke relung hati yang paling dalam. Semoga saja, kami bisa mewujudkan asmaMu dalam perilaku sehari-hari.
*****
Romo bilang, mulai Senin depan aku harus masuk Sekolah Taman Siswa. Disana aku punya banyak teman dan guru-guru baru yang akan mengajariku membaca, menulis dan berhitung. Aturannya jauh lebih ketat. Semua siswa mendapat perlakuan yang sama tanpa kecuali. Meskipun demikian, malam harinya aku tetap belajar di pesantren. Statusku berubah dari santri mukim menjadi santri kalong. Julukan bagi santri yang hanya mengikuti pelajaran pada sore hingga pagi hari. Meskipun jam belajar serta pelajaran yang diterima jauh lebih banyak, pantang bagiku mengucapkan keluhan. Aku tak mau mengecewakan romo yang telah bersusah payah mengeluarkan baya yang besar agar aku bisa bersekolah disini. Selain mahal, hanya orang-orang pilihan saja yang bisa menikmati belajar di Sekolah Taman Siswa.
Pada suatu hari libur, Romo berkunjung ke pesantren.beliau mengunjungiku sambil menyerahkan bekal rangsum untuk sebulan mendatang.
"Le, gimana sekolah barumu itu. Bisakah kau mengikuti pelajarannya?"  
"Injih, Romo. Kami semua agak kesulitan karena bahasa Belanda yang digunakan para guru merupakan bahasa yang tidak biasa kami pakai jadi terasa sulit. Tapi aku akan berusaha belajar lebih keras untuk bisa memahaminya. Mohon doanya, Romo."
"Tanpa kau pinta, Romo dan Binda selalu melantunkan doa-doa terbaik untuk bocah lanang kami, Le. Tak apa,kau belajar lebih keras dibandingkan teman-teman seusiamu. Kami berharap kau bisa menjadi orang besar yang mampu mengangkat harkat martabat bangsa tertindas ini, Le."
"Inggih, Romo," jawabku penuh penghormatan.
"Minggu lalu, Romomu ini berkunjung ke dusun Bodaskarangjati. Alhamdulillah, bapak dan simbokmu sehat. Mereka begitu bangga dan bahagia saat mendengar kau bersekolah disini. Mereka menitipkan salam dan doa buat kesehatanmu, Le. Ingatlah, lantunkan doa buat kami disetiap ahir shalat yang kamu lakukan."
"Inggih, Romo."
Setitik air mata lolos dari netra ini. Aku tak mampu membendung rasa rindu yang membuncah. Hampir dua tahun aku tak menemui Binda, Bapak dan Simbok di dusun.
"Yo, wis. ora ditangisi Le. Bocah lanang musti kuat. Moga Gusti Alloh paring nikmat sehat, kuat fikir, kuat dzikir dan bersihin atimu. Romo ndak bisa lama-lama mengunjungimu."
"Inggih, Romo. Moga Gusti Alloh paring kesehatan dan meluaskan pntu rezeki untuk keluarga kita semua. Saya akan melaksanakan titah Romo. Mohon ridonya, Romo."
"In syaa Allah. Kami semua meridoi kamu, Le. Wis, balik ning bilikmu, Le. Istirahat. Ini, binda bawakan buras karo peyek teri. Bagikan juga pada teman-temanmu di kobong. Romo sekarang mau menemui  Kyai," ucap Romo sambil menyerahkan buntalan kain jarik yang cukup besar. Seperti biasa, kiriman Romo ini berisi beras, ikan asin, gula jawa, garam, lombok dan minyak klentik se toples besar. Ada toples berisi teri goreng yang akan menjadi lauk makan kesukaanku.
Usai mencium takzim tangan Romo, aku pamit menuju kobong. Tubuh kecilku agak susah melangkah karena beratnya kain jarik yang harus kupangku di punggung ini. Sesampainya di kobong, teman-temanku berebutan menghampiri. Buras dan peyek teri buatan Binda sangat banyak. Hampir semua teman satu kobong bisa menikmatinya. Sambil bercanda, kami menikmati harumnya buras isi kacang dan rempeyek teri kesukaanku. Terimakasih, Binda. Makanan ini jadi obat pengganti kangenku pada rumah besar kami di  Kota Rembang.
*****

Part 2 : Pramuka Hizbul Wathon

Saat ini umurku tiga belas tahun. Tubuhku semakin tegap, tinggi menjulang. Setelah dinyatakan lulus dengan nilai yang membanggakan dari Sekolah Taman Siswa, aku melanjutkan pendidikan di sekolah guru Muhamadiyyah di Kota Solo. Orang-orang kadang menyebut sekolahku ini dengan HIK. Sekolah ini kupilih karena kecintaanku pada para kyai dan guru-guru yang telah memberikan banyak pengajaran yang berharga. Kelak, aku ingin mendermakan tenaga dan fikiranku menjadi guru supaya bisa turut mencerdaskan anak-anak di pelosok dusun. Ya, aku yang sangat beruntung mendapat pendidikan agama dan pendidikan umum di waktu bersamaan ini harus membagikan ilmuku pada anak-anak lainnya supaya anak bangsa ini lebih banyak yang pintar baca tulis dan berhitung. Bangsa kami harus maju. Kyai bilang, kemajuan bangsa ini kelak ada di pundak kami, putra-putra terpilih.
Saat aku bersekolah di HIK, pelajaran yang selalu membuatku merasa lebih gagah adalah Pramuka Hizbul Wathon. Disini, aku selalu menjadi pemimpin regu. Kami belajar baris berbaris, bela diri dan kerampilan bertahan hidup di alam terbuka.  Jika ada orang yang bertanya siapa Sudirman muda, mereka pasti akan membanggakan pemuda yang terkenal akan kedisiplinan, kecerdasan  dan juga keaktifanku dalam setiap kegiatan Hizbul Wathon.
Hari ini, ada lomba kegiatan aral rintang dan jurit malam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Aku dan tujuh orang teman-teman regu Macan mewakili kelas pemula HIK Muhamadiyah. Hampir lima jam regu Macan berjuang menaklukan setiap pos yang didatangi. Slogan "KAMI DATANG UNTUK MENANG" yang selalu diucapkan penuh tenaga seakan-akan jadi pemacu semangat yang ampuh untuk memecahkan setiap tugas. Saat ini,dihadapan kami ada titian panjang yang dibuat dari tiga batang bambu gombong sepanjang sepuluh meter yang diikat tali. Kami  harus melintasi sungai.diatas bambu itu, dan disediakan tali besar sebagai pegangan. Melihat ar sungai yang deras, membuat nyali Gimin dan Paijo ciut. Mereka berdua memang paling penakut diantara kami.
"Aku ndak mau melintas. Biar aku sama Gimin tinggal di pos ini. Kalian lanjutkan tanpa kita berdua," lirih Paijo berucap.
"Yo ndak iso. Kita semua musti nyebrang!" Ucap Danang penuh semangat.
"Emong, kulo ndak bisa jalan. Lutut ini lemes," jawab Gimin.
"Ayolah, kita bisa jalan barengan. Ahmad, kamu jalan paling depan. Satu tanganmu memegang tangan Gimin, satunya lagi pegang tali. Gimin. Kamu percaya sama Allah Ta'ala kan. Dia yang akan memberikan kekuatan! Ayo jalan. Regu Macan datang untuk berjaya!" ucapku  penuh penekanan.
Sedikit demi sedikit, wajah Gimin mulai memerah. Keberaniannya kembali hadir. Jadilah Ahmad dan Gimin menjadi dua orang pertama yang melintasi sungai. Langkah demi langkah terus ditapaki mereka berdua  dengan sangat hati-hati. Ahmad dengan sabar memandu setiap langkah kaki Gimin. Sepuluh menit kemudian, mereka tiba di seberang sungai. Gimin dan Ahmad bertakbir dengan sangat kencang. Dengan tangkas, Gio, Lukman, Didit dan Bagus berjalan melintasi sungai secara bergiliran. Paijo menatapku penuh harap. Masih ada kilat ketakutan dimatanya.
"Ayo, giliran kita berdua yang melintas. Jangan biarkan rasa takut menguasai hatimu. Percayalah, kamu bisa!" kataku meyakinkan Paijo. Dia mengangguk. Kami mulai melangkah dengan mengucap basmallah. Tangan Paijo yang basah karena keringat  terasa licin di tanganku. Satu tangan Paijo memegang tali dengan kuat. Kadang, aku harus memberi komando untuk mengendorkan pegangannya di tali karena membuat kami kesulitan bergerak. Sorak sorai Gimin dan teman-teman lainnya menyemangati kami di sebrang sungai. Lima belas menit kemudian, kami tiba dengan selamat. Gimin orang pertama yang memeluk Paijo.
"Kita berhasil melawan ketakutan yang diciptakan oleh pikitan kita sendiri. Hebat!" ucap Gimin penuh syukur. Paijo mengangguk dan tersenyum lega. Kami segera merapatkan tangan dan kembali meneriakkan ye-yel kesayangan, "KAMI DATANG UNTUK MENANG".
Berbekal pengalaman inilah, rintangan yang disediakan oleh panitia menjadi tidak berarti lagi. Regu Macan berhasil mengaum dengan gagahnya karena mampu mengatasi tiap aral rintang. Jika saat start kami regu ke delapan yang diberangkatkan panitia, maka suka cita kami rasakan saat sampai di garis finish, karena kamilah regu pertama yang berhasil menginjakkan kaki di garis finish. Gema takbir kembali bergelora dalam dada setiap anggota regu macan. Berbekal pengalaman dengan regu macan, aku dan teman-teman semakin giat mengikuti setiap sesi latihan yang diselenggarakan Hizbul Wathon.
Ketika hendak menginjak tahun ketiga masa sekolah di HIK, Romo sakit keras. Aku bergegas pulang ke Rembang. Bagaimanapun juga, aku anak laki-laki tertua. Kehadiranku tentu saja sangat diharapkan Romo.
"Kamu pulang, Lek? Syukurlah. Romo Kangen kamu, Lek," ucap Romo. Ku anggukkan kepala dengan takzim, lalu kucium punggung tangan Romoku penuh kasih. Binda yang duduk di pinggir bale-bale yang ditempati Romo, mengusap kepalaku lembut. Binda tidak bersuara. Kilau matanya yang indah bercerita banyak, bagaimana sedihnya hati Bindaku melihat Romo yang sakit.
"Le, ikhlaskan jika hanya sampai disini waktumu menuntut ilmu di HIK. Romo tak sanggup membiayai lagi. Adik-adikmu perlu bersekolah juga dan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Romo harap pengertian darimu,Lek!"
"Nggih, Romo. Kulo ikhlas. Nyuwun pangapunten bila selama ini kula merepotkan Romo dan Binda. Terimakasih untuk kebaikan dan kasih yang tak terhingga ini, Romo.Kula manut apapun yang Romo titahkan," jawabku sopan.
Tangan Romo melambai, mengisyaratkan agar aku semakin mendekati bale-bale tempatnya berbaring. Aku duduk bersimpuh didekatnya. Tak lama kemudian, tangannya mengelus rambutku dan berucap, "Le, jadilah anak sholeh yang mau berjuang dalam hidup. Lihatlah kehidupan rakyat di sekeliling kita yang miskin. Bagikan ilmu yang sudah kau miliki pada mereka. Ada satu HIS di Cilacap yang membutuhkan guru muda. Berangkatlah kesana dengan mambawa surat dari Romo. Berjuanglah, dan buat kami bangga padamu."
Ucapan Romo yang lembut namun tegas membuat aku tak bisa menolak titahnya ini. Kuanggukkan kepala ini dengan takzim. Binda mengusap-usap bahuku. Beliau tidak banyak bicara,tapi sentuhannya membuat hatiku faham jika Binda sayang dan bangga pada anak bujangnya ini.Baiklah, Romo dan Binda. Amanat ini akan kulaksanakan penuh tanggung jawab. Aku akan mengabdikan diriku di HIS Cilacap. Akan kubuat kalian bangga dengan kabar-kabar terbaik dari Cilacap sana.  
*****

Part 3 Saatnya Mulai Berjuang dan Menjaga Wudhu

Babak baru perjuanganku sebagai guru HIS Cilacap sudah dimulai. Hari-hariku diisi dengan mengajari anak-anak untuk menulis, membaca dan berhitung. Kami menggunakan Bahasa Jawa dan Belanda sebagai bahasa pengantar saat mengajar. Di sela-sela waktu bekerja, aku masih menyempatkan diri untuk mengikuti berbagai kegiatan  kemuhamadiyahan. Setiap malam Selasa, ada pengajian rutin yang tak boleh kulewatkan.
Malam ini, Kyai Ahmad yang memberikan kajian rutin. Aku duduk di shaf paling depan bersama teman-teman guru lainnya. Beberapa orang siswa tampak duduk dibelakangku. Kami siap mendengarkan ilmu yang dibagikan Kyai Ahmad.
Dawuh Kyai Ahmad, "Dalam ajaran agama Islam, ketika seseorang hendak melakukan ibadah, maka kewajiban utamanya mensucikan diri terlebih dulu dengan berwudhu. Berwudhu bertujuan untuk menyucikan diri dan jiwa. Wudhu memberikan manfaat yang sangat besar bagi kesehatan. Bukan sekadar membasuh bagian-bagian tubuh dengan air, tetapi juga bisa menjaga kesehatan dan mencegah berbagai macam penyakit.
Shalat lima waktu juga tidak sah jika tak berwudhu. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima, ketika masih berhadats sampai dia berwudhu." (HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225).
Bagi Seorang muslim, mereka sedikitnya harus berwudhu sebanyak 5 kali sehari yaitu saat akan menunaikan sholat fardhu. Banyaknya wudhu yang dilakukan ini akan semakin bertambah dengan semakin bertambahnya kualitas akan kecintaan pada Nabi yang mulia dan bahkan seorang muslim yang memperbaharui wudhu saat hendak sholat meski walau belum batal, baginya juga sudah tercatat sebagai sunnah.
Ada delapan fadilah atau keutamaan menjaga wudhu, pertama pembersih noda-noda akibat dosa dalam shadr dan penambah amal shalih. Kedua, pengampun dosa yang sudah dilakukan sekaligus pemberi syafaat untuk kita kelak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, "Barangsiapa tidur dimalam hari dalam keadaan suci (berwudhu') maka Malaikat akan tetap mengikuti, lalu ketika ia bangun niscaya Malaikat itu akan berucap 'Ya Allah ampunilah hamba mu si fulan, kerana ia tidur di malam hari dalam keadaan selalu suci'." (HR Ibnu Hibban dari Ibnu Umar r.a.).
Ketiga, percikan air wudhu membuat otot yang tegang menjadi lebih rileks sekaligus membersihkan kotoran yang menempel pada tubuh khususnya bagian wajah. Wudhu yang dilakukan secara rutin juga dapat dijadikan penjaga kesehatan jasad.
Keempat, dalam salah satu riwayat, Rasulullah bersabda: "Bersuci (wudhu) menjadi separuh iman. Alhamdulillah akan memenuhi mizan (timbangan). Subhanallah wal hamdulillah akan memenuhi antara langit dan bumi. Sholat adalah cahaya. Shodaqoh adalah tanda. Kesabaran adalah sinar. Alquran adalah hujjah (pembela) bagimu atau hujatan atasmu. Setiap orang keluar di waktu pagi; maka ada yang menjual dirinya, lalu membebaskannya atau membinasakannya." [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Fadhl Ath-Thoharoh (533). Hadits ini menjelaskan bagaimana wudhu  sebagian dari iman. Sebagai seorang muslim sejati, keimanan menjadi pertanda penting yang wajib dimiliki dalam hati dan wudhu inilah salah satu cara untuk mencapai iman sejati tersebut.
Kyai Ahmad berdawuh. Kelima, pada hari kiamat nanti, umat Kangjeng Nabi Muhammad dibedakan dengan umat lainnya dengan cahaya yang akan tampak dari anggota tubuh dalam wudhu. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu." (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
Keenam, orang yang menjaga wudhunya akan diangkat derajatnya setinggi-tingginya di sisi Allah. Rasulullah bersabda: "Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya!" Para shahabat berkata: "Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Menyempurnakan wudhu walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath." (HR. Muslim no. 251).
Ketujuh, barang siapa yang menyempurnakan wudhunya, maka kesalahan dari badan akan keluar dengan berwudhu. Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya, niscaya kesalahan-kesalahannya keluar dari badannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya." (HR. Muslim no. 245).
Kedelapan, seorang muslim yang senantiasa menyempurnakan dan menjaga wudhu, maka Allah Ta'ala memberikan pilihan untuknya memasuki surga melalui delapan pintu surga yang mereka sukai seperti yang sudah dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab Radhiyallahu'anhu: "Barang siapa di antara kalian berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berkata, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah Melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul (utusan)-nya, maka akan dibukakan untuknya pintu surga yang delapan dan dia bisa masuk ke dalamnya lewat pintu mana saja yang dikehendakinya." (Shohih. HR. Muslim I/209 no.234).
 Delapan fadilah wudhu yang dijelaskan oleh Kyai Ahmad begitu membekas dalam hati. Kyai tidak hanya menjelaskan dengan kata-kata. Beliau sendiri mempraktekkan apa yang dikatakannya ini. Kata-kata lembut yang diucapkannya saat menjelaskan fadilah-fadilah wudhu membuat hatiku bergetar. Hamba ingin menjadi orang-orang yang Kau seru dengan lembut, Yaa Robb. Mulai hari ini, akan kujaga wudhuku. Apapun yang terjadi, tak akan ada penghalang bagiku untuk menunaikan wudhu.
*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun