Tindakan tersebut akan menjadi toxic ketika tidak ada penanganan yang pasti, lalu menyebarkan informasi bahwa dirinya menderita penyakit kesehatan mental, kepada keluarga, teman, dan orang terdekat tanpa berkonsultasi ke dokter atau psikolog adalah tindakan yang kurang tepat.
Mengapa self diagnose itu toxic?
Kakak sepupu saya pernah mendiagnosa dirinya menderita bipolar. Ayah, ibu dan keluarga lainnya kalang kabut. Karena ia merasa tak perlu ke psikolog, maka orang sekelilingnya memperlakukan dirinya dengan berbekal informasi dari internet tentang penanganan terhadap orang bipolar.
Benar saja, semakin hari tak ada perubahan. Justru ayah dan ibunya kelimpungan memikirkan anaknnya. Akhirnya dengan penuh kesabaran saya merayu ia untuk berkonsultasi ke psikolog. Ia berkenan.
Setelah rayuan maut saya lancarkan, kami bergegas ke tempat praktek psikolog. Sesudah konsultasi dan interaksi selesai, akhirnya diagnosa resminya keluar. Ia tidak menderita bipolar. Hanya sekedar cemas terhadap pekerjaannya.
Lalu kami diberi langkah-langkah untuk menangani kecemasan tersebut. Benar saja tak sampai satu minggu kondisi lekas membaik. Keluarganya lega dan tak pusing lagi memikirkannya.
Sangat merugikan sekali self diagnose. Karena salah diagnosa terhadap diri sendiri. Orang lain ikut dirugikan. Pusing memikirkan nasib orang yang mengklaim menderita penyakit tersebut.
Itulah mengapa, self diagnose bisa menjadi toxic bagi lingkungan sekitar. Ketika Anda mengklaim menderita mental illnes dan menyebarkan informasi tersebut, tentu orang terdekat Anda akan khawatir dan ingin memberikan perlakuan yang tepat.
Apa dampak negatif self diagnose?
Pertama, kesimpulan diagnosis yang salah, maka perlakuan juga salah
Membaca sebuah gejala dari penyakit tertentu. Lalu kita simpulkan bahwa kita menderita penyakit tersebut, jika  tidak tepat maka perlakuan yang diperlukan untuk penanganan akan keliru. Tidak memperbaiki keadaan, malah memperburuk kondisi.