“Untuk apa hidup sesungguhnya? Bukan untuk menampung semua yang tidak diperlukan”. Pram. Anak Semua Bangsa (Cetakan 8, April 2006: 148). Ketika aku sedang menyimak dengan hikmat, sabda Nyai kepada seorang Minke—untuk kesekian kalinya—, tak kusadari, di antara langit malam yang kelabu, sedari tadi Bulan memandangku begitu sendu. Ada resah yang tertahan di matanya. Hatiku gemeletuk. Kuputuskan untuk beranjak dari pikiranku. Menyambut bulan, dan mendengarkan keluhannya. Ketika kututup semesta kata itu, lantas membalas tatapan Bulan, ia melempar senyum padaku. Manis nian. Itu adalah salah satu senyuman termanis yang pernah ku-potret dengan mataku.
Setelah melempar senyum itu, ia beranjak dari tempatnya, lalu mengambil duduk di sebelahku. Dikenakannya kemeja hitam panjang, dengan chino krem dan sepatu loafers abu kelabu. Rapi sekali kulihat, hendak menemui pacar? mendengar guyonku, Bulan tertawa, kecil saja. Aku tak punya pacar, tak pernah, dan barang tentu akan selamanya demikian. Mengapa tak cari pacar? Sosok se-adiluhung dirimu, pasti banyak yang berkenan menerima. Entahlah, bukan aku tak ingin punya pacar. Hanya saja, aku merasa tak pantas untuk siapapun. Terlebih lagi, di usiaku yang hampir empat setengah miliar tahun ini, terlampau sering aku lalai atas tanggung jawab. Aku tak mau ada lebih banyak yang menderita sebab kelalaianku.
Hening sejenak. Sendu menyerbak, memenuhi ruang percakapan kami. Kau terlalu berlebihan Bulan. Kau kenal Venus? Ia sering bercerita padaku tentang kebaikan-kebaikanmu yang menyertainya. Dan aku tak mungkin mendakwa-nya sebagai pembual, tentu saja, sebab aku pun mengalami sendiri kebaikan-kebaikanmu Bulan. “Sosok mungil yang tinggal di ujung jalan itu?” tanya Bulan memastikan. “Ya” tegasku. Tentu. Setiap yang ada di kota ini, tentu mengenal Venus. Sering kulihat ia duduk sendirian di taman ketika fajar maupun petang. Pernah juga Venus mengunjungiku dalam satu kesempatan, ia berkelakar tentang betapa bodohnya manusia dengan kerusakan-kerusakan yang mereka banggakan. Ia juga berkisah tentang anak sungai sebatang kara yang tinggal di gubuk tua di balik bukit itu, betapa malang nasibnya ketika ia mulai hidup berdampingan dengan manusia. “Mengapa demikian, Bulan?” tanyaku penasaran. Bulan menatapku lekat-lekat, sendu masih bersemayam di matanya. Maaf, aku tak tega mengisahkannya padamu. Kalau kau ada waktu, bersempatlah mengunjunginya sendiri. Dan jika berkenan, bawakanlah barang satu atau dua kantong garam untuknya. Ia akan senang menerimanya. Setelah memberi saran agar mengunjungi anak sungai sebatang kara itu, Bulan meminta diri untuk pergi meramu mimpi-mimpi, “aku pergi dulu, terima kasih sudah berkenan mendengar. Semoga bahagia menyertaimu selalu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H