Mohon tunggu...
Abdul Afwu
Abdul Afwu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemikir Lepas

Ini adalah sampah pikiran, saya membuang semuanya di sini. Umpanya itu bermanfaat bagi anda, ambil. Apabila mengganggu saya minta maaf, harap maklum ini sampah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Islam, Tak Harus Islam

12 Juni 2024   12:39 Diperbarui: 12 Juni 2024   13:07 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

"Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra-putri Sang Hidup" --Khalil Gibran

"It takes a village to raise a child" sebuah adagium pembuka dari Afrika ini memberikan sebuah isyarat makna yang sangat mendalam tentang kesalahan-kesalahan kita dalam memandang seorang anak. Seorang anak tak mungkin dapat diasuh hanya dengan orang tua, atau hanya dengan sekolah saja. Lebih dari itu, anak-anak selalu diasuh oleh lingkungan mereka; keluarga, sekolah, dan masyarakat. Maka menjadi penting mengenalkan realitas sosial pada anak semenjak dini.

Namun, kita ini kerap terjebak dengan cara pandang yang sebaliknya, kita selalu saja terjebak pada hal-hal semu seperti memberikan pemahaman anak bahwa belajar adalah sekolah. Itu dibuktikan dari cara kita menghardik anak-anak kita saat mereka enggan bersekolah, "Ayo sekolah, biar pintar", "Kalau tak sekolah nanti besar jadi apa?". Tentu ini bertolak dengan cita-cita luhur Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara yang pernah mengatakan "Setiap orang menjadi guru, dan setiap rumah menjadi sekolah". Sepertinya kita telah benar-benar mereduksi arti kata pendidikan itu sendiri dan mulai menjadi fanatis pada kata "sekolah".

Naasnya lagi, setelah kata pendidikan itu dikerdilkan, fungsi sekolah pun kini mengalami proses pergesaran makna yang radikal. Dahulu sekali sekolah itu hanya kebutuhan sekunder dan bahkan tersier, sebab sekolah dahulu itu hanya sekedar kegiatan berdiskusi, berdialektika, dan berpidato saat-saat waktu senggang. Secara leterlek nya sekolah berasal dari kata skhole yang berarti waktu luang. Dan bimsalabimnya kini sekolah sama sekali bukan lagi menjadi waktu luang, tapi telah merenggut waktu dan ruang anak-anak, menjadikannya kebutuhan primer untuk dipenuhi.

Tapi sebenarnya tak ada yang salah dari menjadikan sekolah sebagai sebuah prioritas bagi anak-anak apabila sekolah diletakkan sebagaimana fungsinya. Yang menjadi persoalan dan salah ialah saat kita mulai fanatis pada sekolah dan mempersempit waktu dan ruang anak-anak melalui sekolah yang menjerumuskan mereka pada alienasi di masyarakat. Sebagaimana fungsinya, sekolah harusnya adalah perpanjangan dari pembentukan masyarakat pada suatu bangsa. Oleh karenanya fungsi utama dari sekolah adalah mendekatkan diri anak-anak pada masyarakat, yakni mengenalkan, memahamkan, mengomunikasikan, dan mengolaborasikan dengan masyarakat.

Alih-alih sekolah menjadi tempat untuk mendekatkan diri kepada realitas masyarakat, makin hari justru sekolah menjadi eksklusif dan homogen. Fenomena-fenomena sekolah yang begitu sebenarnya sudah lama muncul dan sialnya kini semakin diminati. Kita ambil contoh saja, "SEKOLAH BERBASIS ISLAM", bagaimana bisa sekolah hanya mengajarkan dan memperkenalkan peserta didik pada satu agama saja, sedangkan realitas agama di dalam masyarakat Indonesia jumlahnya lebih dari satu? Apalagi kita (Indonesia) ini juga masih mengakui suku atau masyarakat yang memiliki kepercayaan-kepercaayan leluhur terdahulu yang sangat beragam.

Saat sekolah-sekolah berbasis agama mulai benar-benar bermunculan dan muncul satu anekdot pendikotomian "saya ini lulusan kemenag sejak kecil" sejak itu saya mulai agak janggal. Rasa-rasanya kok kurang tepat kalau sekolah itu hanya terdiri dari satu golongan agama. Bukankah kita sepakat penghapusan 7 kata dalam sila pertama mengisyaratkan kita ini beragam dalam persoalan agama. Lalu mengapa kita tak saling mendekat dalam berbeda. Pernahkah kita sejenak berpikir bahwa anak-anak telah menghabiskan waktu sekitar 7-8 jam dalam sehari, setara 1/3 dari total keseharian mereka. Dan mereka terbiasa berkumpul hanya dengan sesama agamanya saja, tak luwes untuk berkumpul dengan yang selainnya. Kalau seperti itu bagaimana bisa kira-kira mereka nanti mampu berkomunikasi apalagi berkolaborasi. Hampil nihil rasa-rasanya.

Disadari atau tidak, masyoritas sekolah-sekolah berbasis agama kerap kali lebih mementingkan kompetensi pemahaman diri dan kurang memperhatikan kompetensi kolaborasi. Kompetensi kolaborasi ini penting, sebagaimana pentingnya memahami bahwa kita adalah makhluk sosial yang satu antar lainnya membutuhkan. Lebih jauh lagi, pendekatan lintas sekolah berbasis agama akan menghasilkan kemampuan komparasi dalam rangka mempertemukan kesamaan-kesamaan visi. Penting dalam memahami bahwa peran agama dalam menjaga kesatuan bangsa adalah besar. Maka sekarang marilah kita hapuskan pendikotomian ini, mari buat para peserta didik tetap merasa dekat dengan realitas heterogenitas masyarakat. Jangan kita biarkan kompetensi kolaborasi, komunikasi, dan komparasi ini tak diajarkan pada sekolah-sekolah berbasis agama.

Hal yang paling ditakutkan ialah masyarakat di masa depan kehilangan kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi secara transreligi, dan implikasi seriusnya ialah menjadikan cikal bakal percik-percik api yang berakhir pada perpecahan. Baiknya sekolah Islam ini tak harus Islam, sekolah Katolik tak harus Katolik, pun begitu dengan sekolah berbasis agama lainnya. Bukan sepenuhnya berubah, namun sekolah-sekolah berbasis agama kini harus lebih melek lagi, patutnya mereka mulai berkolaborasi membiasakan peserta-peserta didiknya dengan individu yang lebih heterogen. Ide membiasakan peserta-peserta didik untuk membaur pada individu yang lebih heterogen memberikan tujuan agar kedepannya mampu membentuk watak masyarakat yang wasathiyah (moderat).

Tentu ide mempertemukan antar sekolah berbasis agama takkan mudah. Namun ide ini layak dipertimbangkan bagi kebaikan bangsa dalam meningkatkan literasi keagamaan lintas budaya. Dalam merealisasikannya juga dapat difasilitasi oleh lembaga-lembaga atau komunitas yang bergerak di bidang lintas keagamaan dan kebudayaan. Atau bahkan negara harus ikut andil dalam isu-isu semacam ini, terkhusus Kementrian Keagamaan yang notabennya memiliki dan mengurus lembaga pendidikan berbasis agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun