Mohon tunggu...
Abdul Afwu
Abdul Afwu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemikir Lepas

Ini adalah sampah pikiran, saya membuang semuanya di sini. Umpanya itu bermanfaat bagi anda, ambil. Apabila mengganggu saya minta maaf, harap maklum ini sampah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Tanpa Bangunan: Kembalinya Fungsi Pendidikan dari Sekolah ke Keluarga

4 September 2023   16:30 Diperbarui: 4 September 2023   16:37 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Desain Penulis

Secara turun temurun, Pendidikan dan Sekolah adalah dua term yang selalu melekat. Jika Pendidikan disebut, maka sekolah yang muncul, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain Pendidikan tanpa Sekolah adalah ilusi. 

Sekolah seolah-olah menjadi bayangan ruh pendidikan yang mengikuti arah jalan majikannya. Padahal eksistensi sekolah dalam pendidikan justru memunculkan stereotip baru pada masyarakat. 

Seseorang dikatakan berpendidikan apabila ia menempuh jalur lembaga sekolah/bergelar. Konsepsi semacam ini jelas menyesatkan, orang-orang tidak dapat lagi membedakan antara simbol dan substansi. 

Sekolah, ijazah, dan nilai adalah simbol, sedangkan substansi pendidikan terletak pada proses humanisasi. Atau Paulo Freire menyebutnya sebagai perjuangan atas ketertindasan; kemiskinan, ketidakadilan, pembodohan.

Kesesatan stereotip masyarakat pada simbol-simbol pendidikan nampaknya telah mengakar. Pada tahun 2014 saat seorang Menteri Kelautan dan Perikanan diangkat dengan riwayat pendidikan Paket C, banyak orang yang meragukannya. 

Tentu saja sebab masyarakat berpandangan ijazah adalah standart kualifikasi dalam kepemimpinan. Sayangnya keraguan dan paradigma tersebut patah, bahkan riset Polcomm (Political Communication) tahun 2015 menyatakan bahwa Menteri Kelautan telah memperoleh suara survei sebagai menteri paling populer. 

Adalah beliau Ibu Susi Pudjiastuti, berkat prestasi dan keberaniannya dalam mengambil kebijakan-kebijakan kontroversial; penenggelaman kapal asing yang tertangkap. Beliau telah mendekontruksi paradigma atas praktek kepercayaan yang mengultuskan lembaga sekolah/ijazah menjadi determinan kredibilitas individu. Satu kata untuk mereka yang masih memandang orang sebelah mata dengan ijazahnya, “Tenggelamkan!”.

Semua kritik ini berawal dari pergeseran makna sekolah yang sebenarnya. Dalam tradisi asalnya, masyarakat Yunani Kuno sering menggunakan waktu senggangnya untuk datang dan berkumpul membahas sesuatu atau sekedar mendengarkan ceramah. 

Tradisi tersebut seringkali disebut dengan istilah skhole, scola, schola, atau scolae. Sehingga apabila ditelisik lebih jauh lagi, akar kata “Sekolah” atau “School” berasal dari bahasa Yunani yaitu skhole yang berarti waktu luang. 

Secara umum istilah tersebut bermakna leisure devote to learning (waktu luang yang khusus dipergunakan untuk belajar). Seiring waktu, kegiatan tersebut mengalami perluasan. Pengikutnya bukan hanya bapak-bapak tetapi anak laki-lakinya pun turut diikutsertakan, lalu keduanya dipisahkan menjadi golongan-golongan tersendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun