Dalam struktur keluarga pesantren, setiap aktor individu yang ada dalam struktur selalu berperilaku sesuai aturan, Â kebiasaan, norma, dan nilai yang dilestarikan struktur dalam menjalani hidup. Walaupun sering ada salah satu aktor yang pergi atau merantau ke suatu tempat atau lingkungan lain, yang pastinya aktor itu akan berinteraksi dengan orang lain di lingkungan barunya, juga memungkinkan lingkungan itu merubah kebiaasaan (culture)-nya. Akan tetapi, saat ia kembali ke keluarganya, ia mau tidak mau akan mengikuti aturan dan nilai yang ada dalam struktur keluarga pesantren.
Seperti contoh seorang anak yang dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak yang memiliki ikatan keluarga atau bisa disebut "Bani". Lebih tepatnya dijodohkan dengan sepupu (anak dari saudaranya bapak/ibu), dua-pupu (cucu dari saudaranya mbah), sampai tiga-pupu (cicit dari saudaranya buyut).
Praktik ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan dalam keluarga pesantren. Aktor bukan hanya terpaksa dan manut-manut saja untuk melalkukan tindakan tersebut, tetapi juga percaya dan yakin bahwa dijodohkan oleh orang tuanya serta menikahi pria atau wanita yang masih memiliki hubungan dan ikatan darah itu adalah pilihan terbaik untuk hidupnya. Ini merupakan proses internalisasi nilai dan norma yang dilakukan oleh individu dalam keluarga pesantren sejak dini.
Perjodohan dalam keluarga besar seringkali dianggap sebagai bentuk akumulasi kapital budaya, di mana pernikahan bukan hanya penyatuan dua individu, tetapi juga penguatan jejaring sosial dan relasi simbolik antar-keluarga.
Dalam perspektif fungsionalisme, seperti yang dikemukakan oleh Talcott Parsons, tradisi perjodohan berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial dengan cara memperkuat kohesi internal keluarga/bani. Perjodohan antar-kerabat, misalnya, tidak hanya mempererat hubungan kekerabatan tetapi juga memperkuat jejaring sosial dan ekonomi yang mendukung stabilitas institusi keluarga.
Keluarga menjadi peran sentral dalam mewariskan nilai-nilai agama dan tradisi. Praktik perjodohan ini menjadi sarana reproduksi nilai-nilai tersebut, dengan hal ini, norma dan aturan yang ada terus berlanjut lintas generasi. Dengan demikian, perjodohan tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme personal, tetapi juga mekanisme institusional yang menjaga kesinambungan tradisi keluarga pesantren sebagai entitas sosial.
Akan tetapi, kelas sosial dalam keluarga pesantren juga harus dipertimbangkan sebelum memulai praktik perjodohan. Ekonomi seseorang sering kali menjadi akar permasalahan dan konflik dalam keluarga. Maka dari itu, bersatunya dua individu dengan kelas sosial yang berbeda, jarang terjadi dalam struktur ini. Seperti rumus matematika yang menjelaskan bahwa positif x negatif (sebaliknya) = negatif, dan positif x positif/negatif x negatif = positif. Mengutip rumus ini, dapat disimpulkan bahwa orang kaya menikahi orang miskin itu tidak baik dan dapat menyebabkan minus ekonomi. Berbeda saat orang kaya menikahi orang yang sama-sama kaya itu bisa menambahkan nilai kekayaan keluarga. Begitu juga, saat orang miskin menikahi orang yang sesama miskin.
Dari perspektif mikro, individu dalam keluarga pesantren bertindak sesuai dengan keyakinan dan makna-makna yang mereka berikan pada tradisi perjodohan, berdasarkan nilai dan norma yang telah mereka internalisasi sejak kecil. Namun, dalam perspektif makro menunjukkan bahwa makna ini tidak muncul secara independen, melainkan merupakan hasil dari pengaruh struktur sosial, budaya, dan religius yang melingkupi keluarga pesantren.
Keputusan untuk "manut" terhadap perjodohan tidak sepenuhnya pasif; ini merupakan bentuk adaptasi terhadap ekspektasi sosial yang telah dilegitimasi oleh struktur keluarga besar, seperti nilai agama dan tradisi. Dalam konteks ini, individu bertindak sebagai agen yang memelihara struktur melalui partisipasi mereka.
Interaksi sehari-hari, seperti diskusi keluarga, pengajaran agama, dan pengamalan tradisi, individu terus memperkuat struktur tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana individu "menerima" atau bahkan "menegosiasikan" tradisi ini dalam konteks interaksi langsung dengan keluarga.