Sebelum saya duduk di bangku perkuliahan, Ummi saya sudah mengenalkan tentang organisasi eksternal favorit yang ada di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yaitu PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Tentang pengalamannya ketika masih menjadi mahasiswa dan ketika lulus menjadi sarjana. Yaitu relasi dan jaringan di dalam maupun di luar lingkungan kampus juga ketika Ummi berkecipung dalam dunia pekerjaan.
Hubungan diplomatik antara organisasi PMII dengan Organisasi Kemahasiswaan (ORMAWA) di tingkat Fakultas maupun Universitas sangat erat dan kuat. Praktik politik tidak jarang ditemukan serta bersinggungan diantara keduanya. Selain itu, hubungan PMII dengan lembaga-lembaga yang ada di kampus juga berkaitan dalam mengurus administrasi dan komersialisasi. Hal ini sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh semua orang yang berada dalam struktur Universitas, baik mahasiswa, dosen, dan pejabat-pejabat yang ada dalam birokrasi kelembagaan/instansi kampus.
Saya melihat fenomena ini seakan-akan organisasi PMII menjadi layaknya penjajah/koloni, kemudian mahasiswa yang tidak tergabung dalam organisasi adalah objek yang dijajah. Hal ini saya rasakan dan fikirkan ketika saya bergabung dalam kepanitiaan acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Sunan Kalijaga di bulan Agustus kemarin. Dimana pada saat itu, Â mahasiswa yang lolos menjadi panitia, (mayoritas) 70%-nya merupakan anggota (internal) dari organisasi PMII. Melihat Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) yang menjadi pelaksana recruitmen panitia PBAK adalah kader (anggota) dari organisasi PMII.
Objek yang menjadi fokus topik ini adalah pengalaman dalam kepanitian itu sendiri. Dimana dalam diskusi tentang permasalahan acara, suara panitia yang bukan anggota PMII (disebut anak eksternal), sering kali tidak didengar. Keputusan tentang konsep acara sering dibuat/dipengaruhi oleh anak "internal"Â sendiri dan atasan (senior) organisasi yang ada dibelakang layar tanpa mempertimbangkan usulan dari "eksternal" yang 30% (minoritas) itu.
Fenomena ini mirip seperti teori pasca kolonial yang dikatakan oleh Julian Go. Salah satu fokus yang dibahas dalam teori ini adalah perspektif (sudut pandang) subaltern, yang berarti, mereka yang (terpinggirkan) suaranya jarang didengar atau diabaikan oleh kelompok dominan. Hubungannya, struktur kekuasaan PMII menciptakan batas-batas yang membuat mahasiswa eksternal sulit untuk mengakses peran atau pengaruh yang sama dalam kegiatan kemahasiswaan (PBAK). Dengan posisi PMII yang kuat dalam berbagai lembaga seperti Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA), PMII mampu mengontrol dan mendominasi rekrutmen panitia, agenda kegiatan, dan keputusan penting lainnya. Hal ini menciptakan struktur yang mengisolasi mahasiswa eksternal, sehingga mereka tidak punya akses untuk berpartisipasi secara setara.
Satu poin lagi dalam teori pasca kolonial Julian Go adalah hierarki global dan keterhubungan antar masyarakat. Jika kita tarik dalam pembahasan ini dapat  diartikan bahwa kolonialisme PMII menciptakan hierarki dalam lingkup Universitas dan ketergantungan terhadap "internal" PMII. Contoh ini menawarkan perspektif yang melihat struktur panitia sebagai bagian dari jaringan relasi dalam kampus yang dibentuk oleh organisasi PMII.
Julian Go, lahir di Manila, Filipina, beliau adalah seorang sosiolog dan akademisi terkemuka yang fokus pada teori sosial, kolonialisme, dan pascakolonialisme. Saat ini, beliau menjabat sebagai profesor di Departemen Sosiologi Universitas Chicago, di mana beliau juga terlibat dalam studi Asia dan program Studi Amerika/Studi New England.
Untuk mempertimbangkan dampak dari dominasi organisasi mahasiswa terhadap dinamika kemahasiswaan di lingkungan kampus, teori pasca-kolonial Julian Go dapat digunakan sebagai perspektif kritis. Struktur kekuasaan dalam organisasi seperti PMII bukan sekadar soal relasi internal-eksternal, tetapi membentuk hierarki yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan akses terhadap peran strategis di kampus. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana batas-batas kekuasaan terbentuk, menciptakan kondisi yang menghambat sebagian mahasiswa untuk berpartisipasi setara.
Penting untuk mengupayakan ruang partisipasi yang lebih inklusif dan dialogis di kampus, yang memungkinkan setiap mahasiswa, baik yang tergabung dalam organisasi internal maupun eksternal, memiliki kesempatan yang sama dalam proses kemahasiswaan. Ini bukan hanya soal perbaikan representasi, tetapi soal membangun iklim akademis yang mencerminkan keadilan sosial, di mana suara dan kontribusi semua pihak diakui dan dihargai.
Referensi :
George Ritzer, Jeffrey Stepnisky (2018). Teori Sosiologi: Edisi Kesepuluh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Go, Julian (2016). Postcolonial Thought and Social Theory. New York: Oxford University Press.
Go, Julian (2012). For a Postcolonial Sociology in. Springer Science Business Media Dordrecht.
Go, Julian (2013). Decolonizing Bourdieu: Colonial and Postcolonial Theory in Pierre Bourdieu's Early Work. Sage Journal, ASA.
Ananta, T., & Setiawan, I. (2020). Dominasi Organisasi Ekstra Kampus dalam Kepemimpinan Mahasiswa. Jurnal Sosial dan Pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H