Mohon tunggu...
abdul afit
abdul afit Mohon Tunggu... Freelancer - Tutor geografi

Bumi dan bola, sama-sama bundar!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Relokasi Industri Massal Ke Jawa Tengah: Manis untuk Ekonomi, Pahit untuk Lingkungan.

30 Desember 2022   19:45 Diperbarui: 12 Januari 2024   16:42 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari seabad yang lalu, Alfred Weber melalui bukunya Uber den Standort der Industrien(1909) mengemukakan sebuah teori tentang lokasi kegiatan industri. Weber menyatakan bahwa lokasi kegiatan industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja. Lokasi atau tempat yang menghasilkan penjumlahan  yang minimum dari keduanya akan memberikan keuntungan yang paling maksimum. 

Teori Weber sejalan dengan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Beberapa pekan yang lalu media gencar mewartakan tentang relokasi besar-besaran industri (pabrik) dari Banten dan Jawa Barat ke Jawa Tengah. Ada 97 perusahaan yang siap merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah. Hal ini patut kita syukuri karena perusahaan masih merelokasi pabriknya di wilayah NKRI, bukan ke negara lain. Sehingga dampak ekonominya akan tetap dinikmati oleh negara kita. 

Fenomena ini secara masif sudah berlangsung sejak 2019. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan pada 2019 ada 140 pabrik, termasuk dari Jawa Barat memindahkan pabriknya ke Jawa Tengah. 

Mayoritas perusahaan yang merelokasi pabrik bergerak dibidang industri padat karya seperti industri tekstil, produk tekstil dan alas kaki. Industri padat karya yang mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang di lini produksinya memang sangat sensitif dengan upah karyawan. 

Bayangkan saja, pada tahun 2019 masih banyak UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) di Jawa Tengah berada di bawah Rp 2 juta. Pada 2019, UMK 31 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah masih dibawah Rp 2 juta. Misalnya kabupaten Pekalongan masih diangka Rp 1.85o.885. Padahal saat itu, UMK 2019 di Jawa Barat sudah di atas Rp 2 juta. Di daerah industri seperti Karawang dan Bekasi angkanya sudah diatas Rp 4 juta. Di Tangerang Raya hampir menyentuh Rp 4 juta. Misalnya kabupaten Bekasi, UMK 2019 sudah mencapai Rp 4.146.126.

Dengan perbandingan seperti itu jelas, pengusaha dapat menekan biaya produksi jika memindahkan lokasi pabriknya ke Jateng. Upah 4 orang karyawan di kabupaten Bekasi, Jawa Barat setara dengan upah 9 orang karyawan di kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. 

Bagi provinsi Jawa Tengah dan kabupaten/kota yang mendapat relokasi pabrik akan membawa dampak ekonomi yang sangat baik. Pabrik akan menyerap banyak lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Pendapatan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Relokasi juga akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). 

Relokasi industri secara masal ke Jawa Tengah (dan Jawa Timur) dapat mengurangi urbanisasi ke Jabodetabek. 

Dalam lingkup yang lebih kecil, pabrik akan menjadi pusat pertumbuhan bagi lingkungan sekitar. Adanya pabrik akan mendorong munculnya usaha-usaha baik formal maupun informal seperti minimarket, kos-kosan, warung makan, ojek, usaha laundry dan lain-lain. Adanya Kegiatan industri akan menggerakkan perekonomian lokal. 

Relokasi industri walaupun banyak dampak positif yang dapat dirasakan, tentu dampak negatif akan selalu menyertainya. Dampak yang nyata tentu pada lingkungan. Dampak-dampak negatif inilah yang perlu diantisipasi atau dimitigasi oleh pemerintah. Apa saja dampak negatif itu? 

Pencemaran  lingkungan

Industri atau pabrik menghasilkan polusi udara dan air. Terutama industri tekstil yang menghasilkan limbah cair. Pemerintah daerah harus memastikan pabrik membuat instalasi pengolah limbah (IPAL) dengan spesifikasi yang sesuai agar limbah yang di buang ke saluran air atau sungai sudah tidak berbahaya. 

Land Subsidence (penurunan permukaan tanah) 

Relokasi pabrik ke Jawa Tengah sebagian besar berlokasi di kawasan Pantura Jateng. Dari sisi lingkungan, hal ini harus benar-benar menjadi perhatian serius pemerintah karena wilayah pantura merupakan daerah dataran aluvial. Dataran aluvial Pantura merupakan tanah yang berusia relatif masih muda yang secara alami terus mengalami kompaksi (pemadatan). Tanah yang mengalami kompaksi akan mengalami penurunan permukaan. 

Saat ini wilayah pantura Jawa Tengah terjadi penurunan permukaan tanah yang cukup memprihatinkan. Wilayah Pekalongan permukaan tanah turun hingga 11 cm per tahun. Ibukota Jawa Tengah, Semarang turun hingga 6 cm per tahun. Beberapa bagian  wilayah di Jawa Tengah seperti Pekalongan dan Demak sebagian wilayahnya sudah tenggelam. Kondisi semakin parah ketika banjir rob terjadi. 

Penurunan permukaan tanah di dataran aluvial bisa lebih cepat jika wilayah itu menjadi kawasan industri dan padat penduduk yang mengandalkan air tanah untuk proses produksi dan aktivis harian.

Industri tentu membutuhkan air dalam jumlah besar, baik untuk proses produksi maupun untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus) ratusan hingga ribuan karyawannya. Jika kebutuhan air tanah disediakan dengan cara menyedot air tanah sudah pasti akan mempercepat proses penurunan permukaan tanah (land subsidence). 

Untuk mengurangi pemakaian air tanah, pabrik dapat melakukan metode pemanenan air hujan (rain water harvesting). Air hujan yang jatuh di atap dan di sekitar pabrik dikumpulkan (ditampung) yang kemudian dimanfaatkan kembali untuk diolah menjadi air bersih layak pakai. 

Pemerintah daerah juga perlu mempertahankan dan memperluas kawasan hutan bakau yang masih tersisa. Kebutuhan air untuk pabrik juga perlu dipersiapkan  oleh PDAM setempat untuk mengurangi pemakaian air tanah. 

Alih fungsi lahan pertanian dan ketahanan pangan

Jawa Tengah adalah salah satu produsen beras terbesar di Indonesia. Dengan banyak pabrik yang berdiri di Pantura Jawa Tengah produksi beras dari daerah ini dapat berkurang drastis karena pabrik-pabrik ini dibangun di atas lahan persawahan dataran aluvial yang sangat subur dan produktif. Situasi ini akan berpengaruh pada ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Perlu diimbangi dengan ekstensifikasi (perluasan) lahan persawahan di daerah lain yang lahannya masih luas. 

Penghargaan swasembada beras oleh FAO di tahun ini bisa saja tidak dapat bertahan lama karena produksi beras dari daerah Jawa Tengah akan berkurang akibat berkurangnya lahan pertanian di daerah itu untuk pembangunan kawasan industri dan dampak ekonomi ikutan. Sebelumnya, sudah banyak lahan sawah di Jawa Tengah berkurang akibat pembangunan tol Trans Jawa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun