Sartre (1905-1980)memang pernah bilang bahwa, “tidur adalah semacam kelenaan yang menggelitik di bawah telinga, lalu membawa kita masuk ke dalam dunia mimpi berkilo-kilo jauhnya dan saat terjaga kita memulai hidup dari nol kembali”.
Tidur dan ketidaksadaran memang sangat dekat dan banyak filsuf ingin agar semua memorinya tetap sadar, tapi bagaimana dengan memori hidup yang menyakitkan?. Apakah kita ingin hidup dalam kesadaran memori yang menyakitkan?. Jelas Tidak!. Jadi fungsi dari ketidaksadaran dalam hidup adalah penting juga untuk meredam dan mencoba melupakan memori yang menyakitkan.
Walaupun proses ini juga cukup merugikan untuk kesadaran hidup pisitif lainnya. Hingga banyak sejarawan seperti Ong hok ham (1933 -2007) yang pesimis bahwa “kita tidak bisa belajar dari sejarah” atau seperti Voltaire (1694 – 1778) merumuskan bahwa “sejarah adalah tabel ketololan umat manusia yang terus berulang”.
Pepatah bijak pernah mengatakan bahwa, “jangan kau ceritakan mimpi buruk pada orang lain sebab kemungkinan besar mimpi itu dapat terjadi dalam dunia nyata”. Itu juga bisa berarti, ceritakanlah mimpi baik kepada orang lain, niscaya mimpi itu terwujud dan kita mendapat berkah yang positif dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tapi kadang kita takut menceritakan mimpi-mimpi baik pada orang lain, sebab harapan dengan kenyataan jauh sekali terentang jarak. Apakah kita hanya bisa jadi manusia infantil yang puas hanya bermimpi dan terlena. Jelas Tidak!
Mimpi buruk berasal dari kejahatan Iblis, sedangkan mimpi baik datangnya dari kebaikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak memang perjalanan psikologis manusia dipengaruhi oleh mimpi-mimpi. Hingga muncul istilah, “aku adalah apa yang aku pikirkan”, baikkah pikiranku atau burukkah pikiranku? Adalah sebuah bukti siapa diri kita.
Mimpi dalam pemahaman psikoanalisa (Freud; 1856 - 1039) adalah berarti sebuah tanda-bunga tidur (pelurusan jalan pikiran) dan pemenuhan hasrat yang tidak dapat dalam dunia nyata.
Kita selalu bilang pada diri sendiri, bahwa kita tidak takut dengan apapun, tapi mengapa selalu saja ada pelarian demi pelarian yang kita jalani dalam kenyataan hidup sehari-hari. Apakah ketakutan dan pelarian sama? Kalau sama, berarti kita memiliki banyak ketakutan dalam hidup ini. Dan bagaimana kita biasanya menanggapi itu semua? Kita lebih sering menyerahkannya pada waktu yang terus bergulir, membiarkan (batara) Kala memakan waktu atau membiarkan (dewa) Yupiter mempermainkan waktu.
Hidup adalah latihan, belajar dan belajar. Sesekali kita tampil, tapi tampil juga adalah latihan. Tidak salah kalau banyak orang bilang bahwa belajar itu seumur hidup, dari buaian sampai liang lahat.
Lalu, logika mana yang benar, aku berpikir maka aku ada atau aku ada maka aku berpikir. Sebuah permainan bahasa yang penuh makna tapi dari kedua penjiwaan bahasa tersebut mana yang benar?
Kalau dipikir secara mendalam, logika Descartes ( 1596 – 1650) lah yang benar, ”dengan berpikir maka aku ada”. Ada sebagai manusia berpikir (homo sapiens), yang dengan otaknya mengembangkan nilai-nilai luhur sebagai aturan gaya hidup yang saling menjaga dan menguntungkan satu dengan yang lain.
Kaum eksistensialisme hanya bergunyon dengan ungkapannya bahwa, ”aku ada, maka aku berpikir”. Sekilas itu benar, tapi apakah semua manusia bisa berpikir pada ketinggian nilai-nilai luhur yang manusiawi dan ilahi?. Berapa banyak manusia yang bisa menggapai nilai-nilai kemanusiaannya?. Berapa banyak manusia yang menjelma menjadi robot tanpa nyawa, seperti sebuah batu yang eksis secara fisik, tapi batu tidak berpikir. Dia hanya ada dan sekedar ada, tidak lebih sebagai objek bukan subjek yang mandiri, independen dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
* Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H