Cerpen Kompas Minggu, 6 Maret 2011, Laron Karya Mashdar Zainal
PESAN MORAL
Luar biasa, ada haru, sedih, iba, perasaan senasib dan sepenanggungan, tapi ada juga perlawanan akibat tekanan dan penderitaan.
Laron bukanlah tokoh utama, tapi subjek yang menghubungkan cerita. Laron di sini adalah bukan sekedar laron fisik tapi juga laron fable yang berpikir dan berbicara. Laron yang fisikal dan arifisial. Laron yang menjelma menjadi sumber masalah atau menjadi solusi pangan, menjadi lauk yang disantap bersama nasi. Laron yang menjadi sangat filosofis, memberi makna dan nasihat, ”…Jika kami tahu, pesta kami sangat singkat, dan sayap-sayap kami sangat rapuh, kami akan memilih untuk tetap menjadi rayap,” kata laron yang lainnya. ”Mengapa?” tanyaku lagi.”Kami tak pernah merasa cukup menjadi rayap tanah, kami ingin punya sayap dan terbang bebas menikmati cahaya. Dan inilah yang terjadi....” ”Apa yang terjadi?” ”Kamu lihat sendiri. Kami hanya berputar-putar menunggu mati. Hidup kami akan berakhir di perut katak atau cicak. Kalau lebih buruk lagi, kami akan mati terinjak-injak manusia, tak bersisa, dan tak pernah berarti apa-apa. Semoga kamu tidak menjadi seperti kami.” ”Menjadi laron?” ”Bukan!” ”Menjadi apa?” ”Menjadi makhluk yang tidak pernah puas menerima pemberian Tuhan, anugerah Tuhan.” Tiba-tiba aku teringat bapak…”
* Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H