Kadang kebenaran akan lebih sakral dan indah bila tetap menjadi misteri.
Keingintahuan manusia membuat kita selalu tidak puas dengan apa yang sudah kita ketahui. Pengetahuan akan digali lebih dalam dan detail lagi sampai menjadi ilmu. Bahkan ilmu pun tidak lagi dapat memuaskan hasrat keingintahuan lalu digali lebih dalam lagi, direnungkan, di-metafisika-kan sampai menemukan hakikat kalau perlu sampai makrifat.
Dalam berpengetahuan, setiap manusia kemudian menjadi berbeda, karena berangkat dari tidak tahu menjadi tahu, hingga manusia tersebut kemudian memiliki tanggung jawab akan pengetahuannya. Dan tanggung jawab inilah yang kadang membebani dan menjadi proses baru, setelah tahu apa? Sudah pasti mengaplikasikan dari pengetahuannya. Kalau manusia berpengetahuan kemudian tidak mengaplikasikannya maka dia terkena sanksi keilmuannya dan sanksi moral sosial (lingkungannya).
Maka tidak heranlah kemudian Iwan Simatupang, seorang sastrawan absurd Indonesia era tahun 60-an, mengatakan bahwa, ”Celakah bila kita membaca terlalu banyak!”. Karena dengan banyak membaca kemudian setiap orang menjadi tahu banyak, dan pengetahuan yang sudah dibacanya haruslah bisa diaplikasikannya, paling tidak untuk diri sendiri sebelum dia menularkannya kepada lingkungan sekitar, keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Apakah susah mengaplikasikan pengetahuan atau ilmu yang sudah kita dapat dalam kehidupan nyata? Jawabannya tergantung pada kemauan dan kemampuan kita masing-masing.
* Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H