Mohon tunggu...
Abdul Rojak
Abdul Rojak Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah hiburan, menulis adalah pelepasan ide dan gagasan

ABDUL ROJAK, tinggal di Depok, Jawa Barat, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Cerpen Kompas: Kain Perca Ibu Karya Andrei Aksana

6 Februari 2011   07:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:51 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Cerpen Kompas, Minggu, 6 Februari 2011. Kain Perca Ibu Karya Andrei Aksana.

Cerpen ini masuk dalam kategori tema keluarga, mengisahkan tentang seorang ibu yang penuh dedikasi dalam mengurus keluarganya. Terutama dengan bakatnya menjahit, sang ibu mencurahkan hidupnya dan sejarahnya dalam jahitan yang dibuat untuk membuat sebuah pakaian, entah itu baju untuk pengantin, baju dinas suaminya, baju khusus untuk anak-anaknya yang juga di pakai untuk acara khusus, seperti acara Kartini di sekolah.

Sudut pandang cerita di tuturkan oleh ”aku” yang bernama Sri, anak sang ibu yang ketiga dari empat bersaudara, yang semuanya perempuan. Secara global, tokoh yang ada dalam cerita ini ada ibu, mbak Ratih (anak sulung), mbak Suti (anak kedua), “aku” Sri (anak ketiga), dan Laras (anak bungsu).

Alur ceritanya maju dengan diselingi sedikit flasback. Setting ceritanya sebagian besar berada di Magelang, sedikit-sedikit mengungkapkan setting Semarang, Bandung, Bogor dan Jakarta. Sedangkan waktunya adalah masa kekinian dengan flasback tahun 1950-an, saat ibunya menikah dengan bapaknya.

Pesan moralnya adalah kain yang dirajut dan dijahit kemudian menjadi pakaian memiliki arti dan makna yang mendalam bila dibuat dengan sepenuh hati, dirawat dan dijaga pula dengan sepenuh hati. Bukan karena kekeramatannya atau kesakralannya, tapi menghargai setiap karya yang dibuat maka nilai dari sebuah karya pun akan sama seperti jati dirinya sendiri, dan itu harganya sangat tak ternilai. Sampai pada satu titik pun akhirnya sang ibu memahami, bahwa, ”... kita ndak boleh termakan kenangan, kita bisa mati merana....”. Dan dengan konsep baru itu sang ibu mulai melakukan eksperimen dengan potongan-potongan kain bekas, entah itu baju, kain sarung, celana, gorden atau bekas kain yang lainnya, untuk kemudian dijadikan bermacam-macam fungsi, seperti bed cover, lap, serbet ataupun tatakan gelas. Dengan konsep baru menjahit ibunya, pesan moral yang lainnya adalah, seperti yang diungkapkan oleh penutur cerita, ”aku” Sri, ”...kini kami terbiasa menertawakan sejarah...”.

Namun diakhir cerita, walaupun kain-kain bekas digunakan sang ibu untuk dimodifikasi menjadi fungsi yang lain dan ”ditertawakan”, namun setelah kematian sang ibu, keempat anak perempuannya mendapati lemari ibunya penuh dengan pakaian suaminya yang tersimpan dengan rapi, tetap seperti dulu dan tidak pernah disentuh oleh sang ibu untuk dimodifikasi.

* Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun